Cara Menuju Raudhah Bagi Wanita Dan Jamaah Berkursi Roda Di Mesjid Nabawi

Kubah Hijau Penanda Letak Makam Rasulullah Terlihat Dari Kejauhan

Apa tempat yang paling dituju saat jamaah haji atau umroh datang ke Madinah? Pasti banyak yang menjawab ingin ke Raudhah atau Taman Surga di dalam bangunan Masjidil Nabawi. Apabila masuk ke dalam Raudhah, berdirilah menghadap ke arah kiblat. Kita dapat melihat di sebelah kiri ada sebuah bangunan berbentuk 4 segi berwarna hijau tua dan bangunan itu dulunya adalah rumah Rasulullah SAW & Siti Aisyah dan di situlah juga terletaknya makam Rasulullah SAW serta para sahabat. Di atasnya terdapat kubah berwarna hijau tua yang menjadi tanda letaknya makam Rasulullah SAW. Kubah ini bisa dilihat dengan jelas dari luar Masjid Nabawi bagian depan.

Lalu bagaimana cara untuk mencapai Raudhah? Karena saya seorang perempuan, maka saya ingin menceritakan cara menuju Raudhah bagi kaum perempuan. Untuk pelengkap informasi, pintu masuk bagi jamaah perempuan dan lelaki berbeda atau dipisah bila ingin memasuki Masjid Nabawi. Hal ini berbeda bila ingin memasuki Masjidil Haram Mekkah tempat Ka’bah berada. Jamaah laki-laki dan perempuan bebas memasuki dari pintu manapun walau saat shalat akan dipisahkan areanya di dalam.

Untuk menuju ke Raudhah, bagi jamaah wanita hanya bisa di waktu-waktu tertentu. Berbeda dengan jamaah pria yang bisa setiap saat memasuki Raudhah. Raudhah ini pada saat jam shalat menjadi area untuk shalat lelaki, sehingga tertutup bagi perempuan. Berdasarkan pengalaman yang saya alami sendiri, waktu kunjungan ke Raudhah bagi perempuan adalah setelah terbit matahari hingga menjelang shalat Dzuhur dan selepas shalat Isya hingga pertengahan malam.

Pintu Masjid Nabawi Nomor 25 Tempat Awal Memasuki Raudhah Bagi Jamaah Perempuan

Tidak semua pintu masjid bisa dilewati untuk menuju Raudhah bagi wanita. Kita harus mencari pintu nomor 25 yang berada di area khusus perempuan dan terus saja melangkah masuk menuju tempat imam. Kalau tidak yakin dan takut tersesat, pada jam-jam khusus kunjungan Raudhah, kita akan melihat perempuan dari berbagai bangsa berbondong-bondong ke arah depan. Ikuti saja rombongan itu dan kita akan melihat petugas-petugas wanita yang mengatur jamaah. Ikuti instruksi dari petugas wanita yang berpakaian dan bercadar serba hitam itu. Ada kalanya kita disuruh duduk dan menunggu beberapa saat di karpet, dan ada kalanya kita diminta terus berjalan. Bagi pemakai kursi roda, rombongan akan dipisah dan digabungkan dengan sesama pemakai kursi roda. Tentunya para jamaah ini minimal berdua, satu jamaah duduk di kursi roda dan satu jamaah lagi yang menemani. Bagi pemakai kursi roda tidak perlu kecil hati saat ingin ke Raudhah. Ada antrian khusus dan area shalat bagi pemakai kursi roda di karpet hijau Raudhah di Masjid Nabawi.

Antrian Khusus Jamaah Berkursi Roda Yang Ingin Menuju Raudhah

Saat saya merasakan berkunjung ke Raudhah untuk pertama kali tahun 2008, situasinya sangat padat. Sulit bisa shalat dan berdoa berlama-lama di sana. Bisa-bisa, kita akan terinjak oleh kaki orang lain kalau diam di tempat terlalu lama. Maka petugas di sana pun mengatur agar kita cukup shalat sunat 2 rakaat saja dan segera beranjak untuk memberikan tempat bagi jamaah lain yang ingin merasakan shalat di karpet hijau Nabawi alias Raudhah ini.

Membayangkan sebegitu padatnya Raudhah, awalnya saya tidak yakin bisa ke sana membawa ibu saya yang kakinya sakit karena osteoarthritis alias radang sendi. Bisa-bisa, ibu saya malah jatuh terdorong oleh jamaah lain yang memang tenaga dan badannya lebih besar dibanding ukuran tubuh orang Indonesia. Untuk alasan itu pula, jamaah dari Asia yang bertubuh kecil dipisahkan dari rombongan jamaah negara lain seperti dari Arab dan Afrika agar saat memasuki Raudhah lebih aman.

Ibu Saya Tercinta Sedang Mengantri Menuju Raudhah Di Atas Kursi Rodanya Sambil Membaca Buku Doa

Setelah pada kesempatan tahun-tahun berikutnya ke Raudhah dan melihat ternyata jamaah berkursi roda punya jalur khusus, akhirnya pada musim haji tahun 2017 ini saya membawa ibu saya ke sana menggunakan kursi roda. Alhamdulillah, Allah sangat memuliakan ibu saya. Tanpa desak-desakan, tanpa takut terinjak, Ibu saya dan para ibu lainnya bisa shalat bahkan lebih lama dari jamaah umum yang menuju Raudhah. Tipsnya cuma harus sabar mengantri. Saat sedang mengantri, alhamdulillah waktunya bisa diisi sambil membaca Qur’an atau shalat sunat.

Antrian Jamaah Perempuan Yang Sedang Menunggu Giliran Menuju Raudhah. Antrian Duduk Di Sini Bisa Memakan Waktu Hingga 1 Jam Lebih.

Jamaah yang tidak berkursi roda mempunyai ruangan tersendiri untuk antri. Kami dipisah-pisahkan duduknya dan dikelompokkan dengan sesama bangsa Melayu. Saking lamanya antri, beberapa jamaah ada yang menunggu sambil mengaji bahkan ada yang tidur-tiduran. Saking banyaknya jamaah dan tempat di Raudhah yang terbatas, kami harus sabar dalam menunggu giliran.

Lihatlah Batas Raudhah Berkarpet Hijau Yang Berbeda Dengan Karpet Nabawi Umumnya Yaitu Merah

Walau cukup lama menunggu, pasti rasa kesal langsung hilang dan berubah menjadi rasa haru saat langkah demi langkah kita tiba pada perbatasan karpet berwarna merah dan hijau. Ya, karpet Masjidil Nabawi umumnya berwarna merah dan karpet khusus di bagian Raudhah berwarna hijau. Masya Allah, betapa bahagianya saat kaki kita sudah tiba di atas karpet yang hijau. Rasanya ingin segera bersujud di sana. Eits, jangan tiba-tiba langsung ingin sujud syukur atau shalat di saat awal karpet hijau ya. Nanti kita bisa menghalangi orang lain untuk masuk dan bisa terinjak-injak. Carilah tempat yang cukup aman agak ke dalam walau kondisinya tidak akan leluasa sebebas shalat di mesjid-mesjid yang ada di Indonesia. Asal cukup untuk bersujud, alhamdulillah.

 

Inilah Karpet Hijau Raudhah. Tidak Ada Tempat Tersisa Selain Untuk Shalat, Sekecil Apapun Area Itu.

Berbagai keutamaan shalat dan berdoa di Raudhah bisa kita baca dari berbagai sumber yang bisa dicari di Google. Yang pasti, hampir semua muslim yang tiba di Madinah ingin merasakan bersujud di Raudhah.

Mama Bersama Para Jamaah Lain Yang Bisa Tenang Shalat Dan Berdoa, Sementara Giliran Saya Di Sana Sudah Habis Dan Tinggal Menunggu

Oh ya, kembali ke kisah ibu saya di Raudhah, bagaimana keadaan tempat shalat bagi jamaah berkursi roda? Alhamdulillah, ibu-ibu berkursi roda ini begitu dihormati. Saat antrian memasuki Raudhah, para petugas perempuan mengambil alih kursi roda dan memarkirkan para ibu ini dengan rapi. Sekitar 15-20 ibu bergantian bisa shalat dan berdoa di atas kursi rodanya di atas karpet hijau. Para pengantar dipersilakan shalat di bagian belakang kursi roda ini. Luar biasanya, para ibu yang berada di atas kursi roda bisa shalat lebih lama dan tidak perlu berdesakan. Mereka sangat khusyuk shalat berdoa. Para pengantar sendiri harus cukup puas shalat hanya 2 rakaat dan langsung disuruh berdiri agar bisa bergantian dengan pengantar lainnya. Allah menjamu ibu saya sedemikian nikmatnya. Nikmat mana lagi yang hamda dustakan Ya Allah. Sebegitu besar pertolongan-Mu untuk membahagiakan orang tua hamba. Alhamdulillah… alhamdulillah…

SERBA – SERBI MEMBAWA ANAK UMROH

 

Membawa anak umroh, ujian kesabaran bagi orangtua

Kenapa masih kecil harus diajak?

Apa tidak repot ngajak anak-anak?

Wah, orangtua harus siap diuji kesabarannya…

Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang sempat terlontar saat saya selalu terusik pikiran untuk mengajak anak-anak umroh. Anak-anak kami usianya 12, 8, dan 6 tahun, masih SMP dan SD. Kenapa pikiran selalu terusik ya? Mungkin hanya Allah yang tahu karena secara duniawi lebih seru ngajak anak ke Disney Land daripada berpayah-payah ke Tanah Suci. Tapi mungkin ini bukan hasil logika biasa, itung-itungan materi jadi nomor dua. Rencana ingin ganti mobil biarlah ditunda, rasanya ada yang lebih urgent dari itu. Mungkin ini jalan dari Allah. Kalau soal materi, saya percaya rejeki akan langsung dikirim dari Allah asalkan untuk ke Tanah Suci. Jadi seperti kita tidak mengeluarkan biaya apa-apa (pikiran positif saya selalu). ?

Pemikiran lainnya, tidak ada yang tau umur orang. Kalau saya menunda mengajak anak ke Mekkah, apakah di masa yang akan datang saya masih diberi umur, suami masih diberi umur, atau si anak sendiri masih diberi umur? Nah, kayaknya lebih cepat lebih baik, pikir saya waktu itu. Lagipula dengan keedanan jaman sekarang, saya lebih percaya menitipkan pada Allah saja supaya menjaga ahklak agar selalu soleh dan solehah.

Mendaftar untuk umroh sejak beberapa bulan lalu untuk memastikan seat pesawat di jadwal keberangkatan yang tidak mengganggu jadwal kerja, kuliah saya dan suami, serta jadwal sekolah anak-anak. Alhamdulillah kami berangkat berlima, orang tua dengan 3 anak kecil. Eh, ditambah staf saya di kantor 1 orang jadi berenam. Alhamdulillah… Cerita tentang staf saya bernama Dewi yang ikut umroh juga punya cerita unik sendiri (kapan-kapan diceritain kalau sempat).

Menjelang keberangkatan, ada hal yang tidak terduga, si bungsu panas tinggi berhari-hari. Dengan obat dokter dan obat tradisional panasnya tetap tidak turun. Di situlah ujian kesabaran dimulai. Saya pasrah dan larut dalam doa-doa di shalat istikharah pada malam menjelang keberangkatan. Jawaban hati atas shalat itu, saya harus yakin dan mantap membawa anak saya memenuhi panggilan-Nya ke Tanah Suci. Biarlah Allah yang Maha Pengatur yang menyelesaikan keraguan hati.

Saat perjalanan di pesawat pun badan anak saya masih panas tinggi dan sangat rewel. Perjalanan panjang 9-10 jam di pesawat yang seharusnya untuk istirahat, saya baktikan untuk menenangkan anak dan mengatasi demamnya. Ujian kesabaran yang masih harus dilalui, pikir saya sambil memikirkan Allah pasti akan menolong.

Akhirnya sampailah kami di Jeddah Arab Saudi, bandara utama tempat mendaratnya pesawat haji dan umroh. Sehabis dari Jeddah, kami tidak langsung melaksanakan umroh ke Mekkah, tapi menggunakan bus menuju kota Madinah yang berjarak 6-7 jam dari Jeddah. Mekkah sendiri mungkin hanya sekitar 1 jam dari Jeddah, tapi jemaah Indonesia yang melakukan umroh langsung setelah mendarat biasanya melakukan niat dan miqot saat di pesawat udara saat terbang di atas kota Yalamlam. Rombongan kami rencananya melakukan miqot dan niat dari Bir Ali yang berada di sekitar Madinah.

Bus Arab dengan lantai khusus penumpang di bagian atas

Tiba di Madinah sekitar pukul 2 dini hari waktu setempat. Kami istirahat di kamar hotel sebentar setelah perjalanan yang begitu panjang. Saya pegang tubuh anak saya tidak demam sama sekali. Dia pun bisa tidur nyenyak. Pukul 4.30 dini hari, sebelum azan subuh, saya dan suami bersiap ke mesjid Nabawi untuk menunggu waktu azan subuh. Anak-anak yang sangat nyenyak tadinya ingin kami biarkan tidur dahulu. Tiba-tiba mereka terbangun karena merasakan persiapan orang tuanya dan ingin ikut ke mesjid. Masya Allah, alhamdulillah… Si bungsu yang beberapa jam sebelumnya masih rewel dan panas paling terlihat semangat dan kelihatan sangat segar.

Alhamdulillah, selama di Madinah yang cuacanya agak dingin, anak-anak tetap sehat. Cuma namanya anak-anak, badan mereka memang belum sekuat orang dewasa. Beberapa kali mereka kami tinggalkan di kamar hotel saat orang tuanya shalat ke mesjid. Yang pasti, walau di hotel mereka harus tetap shalat.

Ujian kesabaran juga harus kami lalui saat menuju ibadah umrah yang sebenarnya. Tanggal 3 Maret 2016 sekitar pukul 15.00, kami melakukan niat umroh di miqot Bir Ali di kota Madinah. Setelah miqot, kami menaiki bus menuju Kota Haram Mekkah Al Mukarromah dalam keadaan ihram selama sekitar 6-7 jam perjalanan. Di perjalanan sebagian orang melantunkan talbiyah dan sebagian lagi tidur. Anak-anak pun tidur nyenyak sepanjang perjalanan. Saya tidak mau mengusik mereka karena setelah perjalanan ini kami akan melakukan rangkaian ibadah umrah pada malam hingga dini hari yang pasti akan menguras tenaga.

Sesampainya di Mekkah, kami makan sejenak di hotel dan keluarga kecil saya memisahkan diri dari rombongan untuk memulai ibadah umrah lebih awal. Pertimbangannya, supaya anak-anak tidak terlalu lelah begadang dan lebih cepat selesai lebih baik. Lagipula dengan membawa anak tampaknya kami akan berjalan lebih lambat dibanding orang lain.

Di sinilah ujian kesabaran yang berikutnya. Karena membawa anak, supaya mereka tidak terlalu lelah, kami sengaja membawa kursi dorong. Untuk yang menggunakan kursi dorong, jalurnya terpisah saat thawaf dan sa’i. Saat tanpa membawa anak, kami umroh dan sa’i di jalur manusia yang berjalan kaki. Kalau anaknya masih balita dan cuma 1 anak sih mending digendong aja kayaknya.

Resiko berada di jalur kursi roda berbeda karena di jalur manusia biasa hanya akan berdempetan atau bertubrukan dengan badan manusia. Di jalur kursi roda, kami baru merasakan yang namanya tertubruk kursi roda berkali-kali dari belakang oleh kursi roda orang lain hingga kaki luka atau berdarah.

Hiks…ujian kesabaran yang sangat sakit tapi semoga menjadi penggugur dosa. Benar-benar pengalaman batin yang baru. Suamiku sampai terpincang-pincang mendorong kursi roda anak kami setelah ditabrak hingga jatuh dan berdarah di kakinya. Saya yang disampingnya hanya bisa menguatkan sambil menangis dan ikut mendoakan kebaikan dan ampunan dosa bagi suami dalam rasa sakitnya.

Sebenarnya di sekitar sana banyak petugas tim pendorong kursi roda yang bisa dimintakan jasanya. Mereka biasanya bergerombol misalnya di sekitar jalur sa’i. Tarifnya adalah 100 riyal untuk mendorong di tempat thawaf dan 100 riyal juga di tempat sa’i.

Saat thawaf, anak-anak masih kelihatan semangat dan kuat walau kami berkeliling 7 kali putaran menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam. Karena kami hanya membawa 1 kursi roda, anak-anak duduk bergiliran. Jadi semua kebagian jatah jalan dan jatah duduk didorong. Alhamdulillah semua gembira.

Pada saat sa’i, kelihatannya si bungsu mulai kelelahan dan ngantuk sehingga agak rewel. Putaran ke 4 sa’i antara bukit Marwah ke Safa, kami akhirnya memutuskan menyewa kursi roda karena anak-anak mulai kelihatan lelah dan ingin cepat beres. Biayanya nego dan akhirnya disepakati 75 riyal. Yang penting anak-anak bisa menuntaskan umrohnya dan mereka bisa menyerap banyak pelajaran berharga dari ibadah ini.

Kebetulan kami umroh di malam Jumat. Masjidil Haram pada malam Jumat ramainya benar-benar seperti mall yang lagi menyelenggarakan obral besar-besaran. Penuh banget! Dan hari Jumat memang hari liburnya kantor di Arab. Jadilah warga sini memanfaatkan malam liburnya dengan umroh sekeluarga. Bukan pemandangan aneh anak-anak banyak dibawa pada malam itu dan jalur thawaf serta sa’i sangat penuh oleh keluarga muda Arab. Alhamdulillah…kami tidak sendirian ?

Hingga waktunya selesai sa’i antara bukit Safa dan Marwah, kami pun melakukan tahallul sebagai tuntasnya ibadah umrah yang kami jalan hari itu. Total sekitar 3 jam kami melakukan rangkaian umrah di Masjidil Haram, jadi jam 3 dini hari kami sudah keluar dari Masjid. Setelah itu, sambil pulang ke hotel kami sempatkan mampir ke tempat cukur dan digundullah dua cowok kesayangan saya (suami dan si bungsu). Tukang cukur, toko makanan, toko souvenir, dan toko-toko lain di kota Mekkah memang ngga ada matinya. Buka selama 24 jam non-stop!

Alhamdulillah, semoga ibadah umrah kami bersama anak-anak diterima Allah dan semoga tulisan ini membawa manfaat bagi yang punya niat untuk umroh atau haji.