Si Hitam, Titipan Dari Langit, Kembali Ke Langit


Si Hitam adalah sebutan untuk mobil kami. Bukan mobil pertama kami, tapi dia punya kisah istimewa. Berawal dari keinginan anak-anak yang ingin punya “mobil pintu gesel” (masih cadel) alias mobil yang pintunya digeser. Mungkin ngeliat teman-temannya diantar jemput pakai mobil Freed, Alphard, dan lain-lain. Akhirnya, kami sebagai orang tua yang ingin menyenangkan anak, mulailah mikirin mobil yang pintunya digeser itu. Setelah menyisihkan pendapatan dipotong pengeluaran-pengeluaran, ternyata masih bisa menggeser-geser kebutuhan dan ada uang Rp. 5 juta yang bisa dipakai untuk DP alias uang muka mobil. Geli juga sih… Emang hari gini masih ada DP mobil cuma 5 juta? Ah, siapa tau ada dealer gila yang mau ngasih mobil dengan uang muka segitu… hihihi…

Daripada nebak-nebak, suamiku nekad mendatangi dealer Honda. Buat nanya-nanya harga DP Honda Freed ceritanya… Pede banget sih?! Ternyata, jawaban orang showroomnya, DP termurah sekitar 60 jutaan. Dengan pikiran belum nyerah, suami saya masih nanya lagi ke showroom, “Jadi kalau pakai DP 5 juta gak bisa ya?” Hahaha…tanpa harus diceritain, udah ketebak kan jawaban apa dari showroomnya?

Waktu itu, kami lagi seneng-senengnya dengerin tausiyah dari Ustad Yusuf Mansyur tentang sedekah. Saat pulang dari showroom tanpa hasil, suami saya berkata, berhubung uangnya gak akan cukup untuk beli mobil, gimana kalau disedekahin aja? Ya boleh juga. Kami lupa sedekahkan uang 5 juta ke mana, pokoknya udah hilang rasa penasaran tentang DP mobil yang mustahil tadi.

Kira-kira sebulan kemudian, seorang teman suami mengirimkan broadcast (BC) melalui BBM bahwa dia berniat menjual beberapa kendaraan dan barang-barang miliknya yang lain. Ternyata diantaranya ada 2 buah mobil Daihatsu Luxio dijual. Mobil ingin dijual/ over kredit dan DP yang disebutkan dalam pesan BC tersebut adalah sebesar Rp. 30 juta. Suami mengabari saya tapi kami abaikan pesan tersebut. Tigapuluh juta? Duitnya juga belum ada tapi lucu juga nih, ada mobil “pintu gesel” seperti yang anak-anak pengen. Tapi sudahlah, nanti siapa tau ada lagi rejeki yang lain.

Beberapa hari kemudian, BC dari teman suami datang lagi. Harga DP turun jadi Rp.25 juta. Abaikan aja lagi hehe… Masih jauh…

Ternyata beberapa hari kemudian, muncul BC kembali dari teman yang sama. DP sudah turun jadi Rp.15 juta!! Oh…kami baru sadar, sepertinya teman kami sedang terdesak kebutuhan sampai DP mobil yang ingin dijualnya melorot terus. Akhirnya kami kontak beliau sambil ingin melihat mobil yang dimaksud. Saat kami datang, kami langsung jatuh cinta pada mobil Daihatsu Luxio Matic keluaran tahun 2011 ini. Hitam, bersih, dan sangat terawat.

Teman kami ternyata sedang kesulitan meneruskan cicilan mobil yang harus dibayar sekitar 3-4 tahun lagi sebesar kurang lebih Rp. 5,5 juta per bulan. Jadi dia bermaksud melepas mobil ini agar hilang beban cicilannya. Karena dia dan suami saya sudah berteman lama, tiba-tiba dia berkata, silakan ambil mobilnya Rp.5 juta saja, yang penting ada transaksi over kredit dan dia minta kami teruskan cicilan mobil hingga lunas. LIMA JUTA? Cukup untuk beli mobil? Masya Allah…ternyata cukup ya DP segitu kalau Allah berkehendak!

Nyaman Dipakai Bersama Keluarga Karena Kata Anak-Anak, Gak Bikin Mual Kalau Bepergian Bareng Si Hitam Yang Lega

Akhirnya, tahun 2012 itu, si Hitam pun jadi teman kami sehari-hari yang membantu mengantar anak ke sekolah, mengantar keluarga, mengangkut barang, dan segudang fungsi lainnya. Banyak kenangan indah yang diberikan oleh si Hitam. Anak-anak senang sekali ada mobil ini. Mobil sebesar ini sangat cukup buat mereka bermain dan tidur-tiduran sambil menggelar kasur saat kami ajak mereka ke luar kota.

Selama beberapa kali di bulan Ramadhan dari tahun ke tahun, saya ajak anak-anak bertualang hanya berempat saja. Ibunya nyetir, anak-anak main sambil kami singgah ke beberapa kota di Jawa Barat. Bersama si Hitam, saya pernah mengalami petualangan melewati gunung yang gelap saat terjadi longsor di Majalengka, cuma saya dan anak-anak. Alhamdulillah si Hitam tidak pernah menyusahkan ibu-ibu seperti saya. Coba kalau mogok di tengah hutan yang gelap, saya bisa apa coba? Ngebayanginnya aja ngeri hehehe…

SI Hitam Yang Berjasa Mengantar Cari Nafkah DI Pameran Dan Membahagiakan Anak-Anak

Lalu ke mana suami saya? Suami biasanya nyusul kok setelah pekerjaannya agak longgar. Si Hitam selain bisa menyenangkan keluarga, bisa diajak cari duit juga. Beberapa kali ikut pameran kaos atau pameran musik, ya si Hitam yang bantuin kami. Alhamdulillah, seperti rejeki dari langit mendapat kesempatan langka punya mobil dengan cara ini. Alhamdulillah, cicilan mobil juga lunas beberapa tahun lalu jadi lepas sudah kewajiban bulanan kami.

Sekitar setahun lalu, saya membeli mobil lagi, sebut aja si Putih. Si Putih ini aslinya saya beli untuk dipakai Papah (ayah saya) yang waktu itu masih sehat dan senang menyetir. Saat Papah sakit dan akhirnya dipanggil ke Rahmatullah, otomatis si Putih jadi harus parkir di rumah. Si Hitam dan si Putih harus berdampingan di garasi. Suami mulai merasa mobil jadi terlalu banyak. Takut mubazir, katanya. Padahal cuma 2 sih, kadang kami pakai masing-masing karena pekerjaan kami sering harus berpencar. Tapi kalau dijual, mobil mana yang harus dijual? Sama si Hitam dan si Putih, rasanya masih sayang. Apalagi anak-anak, suka banget sama si Hitam.

Ternyata perasaan gak ikhlas kalau mobil dijual itu berubah jadi perasaan ikhlas kalau mobil diberikan kepada yang membutuhkan. Semua berawal dari pengalaman saat datang ke Rumah Teduh Sahabat Iin. Kok bisa ya, gak rela mobil dijual tapi malah lebih rela kalau mobil jadi milik umum alias lepas dari tangan saya? Sampai sekarang saya tidak tahu kenapa bisa mengalami perasaan ini. Yang pasti, kunjungan saya sekitar bulan September 2017 ke Rumah Teduh  di sekitar Jalan Sederhana Bandung membuat saya menangis berhari-hari. Perasaan macam apa ini?

Saat menengok pasien yang terkulai lemah di Rumah Teduh (kebanyakan pasien kanker) dan sempat mendengar percakapan salah seorang pasien yang ingin diantar ke laboratorium tapi kendalanya tidak ada ambulance yang siap, hati jadi terenyuh. Ditambah lagi mendengar cerita dari Teh Iin, pengurus Rumah Teduh, bahwa pada Hari Raya Idul Adha ada beberapa pasien yang meninggal bersamaan dan sulit mencari ambulance, makin membuat hati saya ikut gelisah. Bahkan beberapa waktu lalu, pasien sekarat yang ingin kembali ke rumahnya di luar kota sampai harus disewakan angkot dan akhirnya meninggal dunia di angkot tersebut.

Teringat lagi pengalaman pribadi saat kami pun sempet kebingungan mencari mobil jenazah untuk membawa jasad Papah ke pemakaman. Kami yang mampu menyewa mobil saja kebingungan, apalagi para dhuafa yang tidak punya keluarga di Bandung dan harus membawa saudaranya yang sakit pulang ke kampung? Ya Allah…

Beberapa hari memendam keharuan tentang tiadanya mobil untuk para dhuafa itu, saya bercerita pada suami dan minta ijin apakah boleh memberikan mobil kami untuk Yayasan Rumah Teduh. Alhamdulillah, seperti biasa, suami sangat mendukung keinginan ini dan kami pun bicara pada anak-anak. Jawaban anak-anak ternyata langsung mengijinkan tapi tidak sekarang, katanya. Mobilnya pengen dipakai sepuas-puasnya dulu untuk keluar kota lagi. Saya tersenyum dan menyadari anak-anak sedang masanya sangat menikmati ruang main yang bisa berpindah tempat ini. Tapi bagaimana orang lain yang di luar sana sedang merintih menahan sakit dan butuh kendaraan?

Perpisahan Anak-Anak Dengan Si Hitam Kesayangan

Akhirnya saya coba meyakinkan anak-anak dengan kalimat pilihan seperti ini, “Kalau kita punya barang kesayangan dan barang itu kita berikan ke Allah, pasti Allah akan memberi ganti yang lebih baik. Ingin diganti di dunia, di akhirat, atau di dunia dan di akhirat?”. Ketiga anak saya kompak menjawab, “Di dunia dan di akhiraaat…” Oke, sepakat ya, ga ada yang keberatan kalau si Hitam kami titipkan ke Allah lagi kalau begitu. Alhamdulillah…

Dan akhirnya, transaksi dengan Allah itu terjadi. Awalnya saya menyangka bahwa si Hitam akan diserah terimakan di KUA (Kantor Urusan Agama) sesuai info dari Teh Iin Rumah Teduh. Ternyata, rencana berubah dan serah terimanya dilakukan di Masjid Agung Trans Studio Mall Bandung, di sela-sela sebuah acara Tausiyah dari Ustazah dan Ustad terkenal. MC-nya pun Kang Daan Aria, seorang public figure dan disaksikan ratusan pasang mata. Masya Allah, perasaan saya tidak menentu.

Teh Iin memberi semangat bahwa semua ini tujuannya untuk dakwah dan juga agar banyak saksi, manusia dan malaikat. Tidak ada yang tahu soal umur, kata Teh Iin, jadi ingin agar mobil ini tetap menjadi milik umat saat kami tidak panjang usia dan semoga tidak ada yang menyalahgunakan.

Serah Terima Si Hitam Kepada Teh Iin, Pengurus Rumah Teduh, 11 Oktober 2017.

Sejak 11 Oktober 2017, si Hitam kesayangan resmi diserahterimakan kepada pengurus Rumah Teduh Sahabat Iin untuk diubah menjadi ambulance. Sebelum mobil siap diubah karoserinya jadi ambulance pun ternyata si Hitam sudah banyak mengantar pasien Rumah Teduh untuk berobat ataupun pulang ke rumahnya di luar kota Bandung.

Alhamdulillah, si Hitam ditakdirkan Allah untuk membahagiakan banyak orang, termasuk kami sekeluarga. Semoga setiap putaran rodanya dapat menjadi ladang amal buat kami sekeluarga dan berkah untuk banyak orang yang terlibat dalam operasionalnya. Semoga pula, tulisan ini bukan bernilai riya tapi bisa menjadi hikmah untuk memberi semangat kepada sesama saudara.
Aamiin Ya Rabbal Alamiin…

Eka Adrian

 

Rumah Teduh Sahabat Iin Bandung

Pasien Di Rumah Teduh

Perkenalan dengan Rumah Teduh Sahabat Iin berawal dari iseng-iseng kepo melalui instagram saya tentang anak-anak berkebutuhan khusus, seperti anak dengan kelainan kromosom, sakit yang langka, dll. Entah bagaimana, akhirnya gambaran-gambaran anak-anak itu sering muncul di IG. Sering saya simak dan saya ikuti ceritanya. Sampai pada suatu hari, muncul video tentang seorang remaja yang menderita kanker dan sedang kesakitan. Ternyata remaja tersebut menginap di Rumah Teduh. Dan saya follow akun Rumah Teduh tersebut sehingga makin banyak gambaran yang saya peroleh tentang kondisi di sana.

Sempat terbersit ingin mampir ke Rumah Teduh, tapi pada saat itu saya disibukkan oleh kegiatan menunggui orang tua di rumah sakit yang juga sedang menderita kanker paru-paru. Keinginan berkunjung pun saya simpan hingga nanti ada kesempatan yang entah kapan.

Ketika akhirnya ayah saya meninggal, kami mengumpulkan beberapa barang yang diantaranya adalah obat-obatan almarhum yang pastinya tidak dapat digunakan lagi. Ada obat kanker, obat penahan sakit, dll. Obat-obatan itu akhirnya saya putuskan untuk diberikan ke Rumah Teduh. Jadilah saya dan Teh Iin, pengurus Rumah Teduh janjian bertemu di lokasi. Lokasinya tidak jauh dari Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.

Saat itu, saya baru paham bahwa Rumah Teduh Sahabat Iin berkonsep sebagai rumah singgah. Ada beberapa rumah yang dikontrak dan dikelola oleh Yayasan Rumah Teduh untuk menampung pasien RSHS yang belum kebagian kamar atau sedang masa kontrol atau sedang menjalani uji laboratorium untuk memastikan penyakit mereka. Para pasien ini biasanya belum memperoleh kamar rawat khusus di RSHS. Seluruh pasien yang ditampung di Rumah Teduh ini adalah pasien BPJS kelas 3 yang berasal dari daerah-daerah se-Jawa Barat di luar kota Bandung. Ada yang berasal dari Garut, Purwakarta, Indramayu, Majalengka, dan lain-lain.

Salah Satu Rumah Teduh Sahabat Iin

Jumlah Rumah Teduh yang berada dekat RSHS adalah sebanyak 6 unit rumah, yang terdiri dari Rumah Teduh 1, 2, hingga 6. Rumah-rumah ini berada di dalam gang yang kecil. Yang mengejutkan adalah biaya sewa rumah per tahunnya bisa dibilang mahal. Harganya mencapai Rp.55 juta/ tahun, padahal rumahnya tidak ada yang terlalu besar, namanya juga di gang kecil. Sebelum Rumah Teduh ini ada, pasien dan keluarganya terpaksa harus menyewa kamar seharga Rp. 1-1,5 juta/ bulan. Pasti biaya itu sangat memberatkan karena mereka adalah pasien yang berekonomi lemah. Apalagi, pasien yang dirujuk ke RSHS dari daerah biasanya yang kondisinya sudah parah dan tidak bisa lagi ditangani oleh rumah sakit setempat. Saat menunggu giliran pemeriksaan laboratorium di RSHS yang bisa memakan waktu berbulan-bulan, tidak mudah bolak-balik ke kampung bagi para pasien yang sakit parah ini. Bisa karena faktor biaya, bisa pula karena faktor stamina.

Hadirnya Rumah Teduh benar-benar menjadi solusi bagi para dhuafa yang papa ini. Mereka akhirnya punya tempat berteduh, tanpa perlu menyewa lagi atau terlunta-lunta di lorong rumah sakit. Demikian mulianya hati Teh Iin dan Kang Toni yang menjadi pengurus Rumah Teduh. Di saat kita lebih nyaman memikirkan diri sendiri, mereka malah memikirkan orang lain. Tidak hanya menyediakan tempat saja, mereka berdua juga harus siap lebih lelah lagi kalau ada masalah lain yang menimpa pasien, seperti tidak ada keluarga yang mau mengurus, pasien yang sudah mengeluh sangat kesakitan padahal giliran pengobatan di RSHS masih lama, tidak punya biaya untuk makan, dan sebagainya.

Kenapa dinamakan Rumah Teduh Sahabat Iin? Menurut Teh Iin, sang pendiri yang bernama lengkap Iraningsih Achsien, Rumah Teduh ini bisa diwujudkan berkat dukungan dari sahabat-sahabatnya di Facebook. Saat Teh Iin menceritakan hal apapun yang berkaitan dengan kebutuhan Rumah Teduh di Facebook, para sahabat beliau ikut berperan menjadi donatur hingga akhirnya rumah singgah ini semakin banyak dan semakin banyak yang tertampung juga.  Jadi nama tersebut dipilih karena menurut Teh Iin pemiliknya adalah sahabat-sahabat beliau semua.

Untuk saat ini, Rumah Teduh kebanyakan menampung pasien yang memiliki penyakit kanker. Tapi ada pula beberapa pasien di luar kanker yang turut ditampung di sini, asalkan bukan penyakit menular. Dalam satu rumah, pasien yang bisa ditampung sebanyak 10-15 orang. Jumlah ini belum termasuk keluarganya. Bisa dihitung, betapa banyak kaum dhuafa yang saat ini bisa terbantu oleh keberadaan Rumah Teduh.

Keseharian Penghuni Rumah Teduh Mondar-Mandir Ke RSHS

Jadi, apa yang bisa kita perbuat untuk membantu mereka di Rumah Teduh? Selain doa tentunya, kita bisa berpartisipasi menjadi donatur dan relawan. Saat ini, Rumah Teduh akan bertambah menjadi Rumah Teduh 7. Biaya operasional mengelola 7 rumah ini pastinya tidak kecil. Untuk kontrak rumah saja setiap tahunnya membutuhkan biaya di atas Rp. 350.000.000,- yang disumbangkan oleh para donatur dan lembaga zakat. Belum lagi biaya-biaya lain seperti bantuan pengobatan, makanan, transportasi, sewa ambulance, dan lain-lain. Alhamdulillah, saat ini Rumah Teduh sudah memiliki ambulance sendiri yang berasal dari waqaf/ hibah salah seorang donatur. Walau ke depannya akan berkurang biaya untuk sewa mobil, tapi operasional ambulance ini nantinya juga akan dibiayai oleh kas Rumah Teduh.

 

Untuk yang ingin berpartisipasi memberikan donasi, bisa menyalurkannya ke Rekening BCA 8100148596 atas nama IRANINGSIH.

Apabila memerlukan informasi lainnya bisa menghubungi nomor HP Kang Toni +6281221187707 atau Teh Iin +62811224937.

Instagram @rumah_teduh_sahabat_iin

Buat yang memiliki akun Instagram, silakan mengikuti kegiatan Rumah Teduh Sahabat Iin ini dengan follow @rumah_teduh_sahabat_iin