Persahabatan itu buat saya kayak kue bolu, rasanya manis dan bikin kita berkembang. Hihihi… Gimana sih rasanya kalau kita hidup tanpa sahabat? Gak kebayang banget, soalnya saya itu merasa jadi mahluk sosial yang butuh teman untuk bicara. Kadang yang jadi sahabat saya itu suami, kadang adik, kadang mertua, dan kadang juga teman lama.
Nah, beberapa hari lalu saya bertemu lagi dengan beberapa sahabat yang sudah lama banget gak ketemu. Begitu ketemu, kami seru banget bicara masalah bisnis. Wah, ternyata sahabat-sahabat saya sedang merasakan jatuh bangun dalam berbisnis. Saya salut banget sama sahabat saya yang masih terus berjuang ini karena saya juga pernah merasakan jatuh bangun yang serupa.
Sambil mengobrol, kami sibuk mengunyah-nguyah kue yang rasanya lembut dan unik. Eh, kue apa ini? Ternyata sejenis kue bolu kukus tapi kok baru lihat ya? Ooo pantesan belum pernah lihat di Bandung, ternyata ini adalah Siliwangi Bolu Kukus dari Bogor. Pas lihat kemasannya, wih…keren banget! Jadi penasaran di mana penjual kue ini di Bandung. Ternyata tokonya baru buka di Bandung tanggal 25 Januari 2020 lho! Dari ngobrol ngepoin kabar sahabat, akhirnya kami malah sama-sama ngepoin bisnis kue bolu ini sambil janjian harus datang pas pembukaan gerai ini. Denger-denger bocoran sih bakal ada promo yang asik.
Ternyata betul, pas hari pembukaan kami datang ke sana, antrian orang begitu banyak di depan toko. Semuanya penasaran ingin mencoba berbagai varian Kue Bolu Siliwangi yang unik dan khas mengangkat kearifan lokal tanah Priangan. Emang gak tanggung-tanggung, ada 8 varian rasa, yaitu rasa Alpukat Mentega, rasa Ubi Cilembu, rasa Susu Lembang, rasa Stroberi Ciwidey, rasa Brownies Coklat, rasa Kopi Bogor, rasa Ketan Kelapa, dan rasa Talas Bogor. Mau tahu rasa favorit saya? Rasa Kopi Bogor, Alpukat Mentega, dan Ubi Cilembu hihihi… Ini enak atau lapar ya?
Kemasan kue bolu ini keren, selain warnanya menarik, keliatan banget didesain dengan segala kepraktisan dan dipikirkan kehigienisannya. Pas memilih bolu di dalam tokonya pun, pembeli dipersilakan mengambil keranjang yang terbuat dari anyaman tikar. Keren banget keranjangnya! Kayaknya kalau keranjang ini dijual, bakalan saya beli juga. Saya suka banget sama yang antik-antik begini.
Balik lagi ke obrolan bisnis bareng sahabat tadi, saya jadi mendapat inspirasi baru. Bolu ini dikonsep bukan jadi bisnis yang cuma sekali meledak terus habis, tapi dikemas menjadi sebuah bisnis yang merangkul potensi daerah khususnya Jawa Barat dan melahirkan karya untuk dinikmati masyarakat berupa kue. Walau “cuma” sekedar makanan, tapi kue ini dipikirkan banget detailnya sehingga terasa sangat bernafaskan Priangan. Kemasan modern tapi cita rasa lokal tetap diutamakan.
Cara promosinya pun unik juga. Dengan promo bayar 1 box dapat 3 pax kue, masyarakat rela antri sampai panjang banget ke jalan. Ini bakalan bikin orang yang gak paham ada kejadian apa, jadi ikut berhenti dan melihat toko ini. Eh ujung-ujungnya malah bikin penasaran untuk ikut beli juga. Gak heran kalau katanya sekitar 3.500 box habis dalam sehari di gerai yang baru buka ini. Wih, mantap ya! Nih bisa lihat keseruan promo dan antrinya di link ini : https://youtu.be/Lgilf5Xj4MM
Eh iya, kebetulan banget saya sempet ketemu General Manager dari Siliwangi Bolu Kukus. Menurut Kang Tegar, sang GM, makanan berjenis kue bolu ini yang diproduksi dengan cara dikukus dan tidak hanya melalui proses yang higienis, tetapi juga ditunjang dengan bahan baku pilihan yang berkualitas. Selain itu ditunjang pula dengan mesin dan peralatan yang tepat guna. Tenaga kerjanya lokal namun andal dan kompeten sehingga menghasilkan produk yang berkualitas tinggi dan berdaya saing.
SBK juga sengaja dikemas agar mudah dibawa ke mana saja. Harganya pun terbilang murah tapi tidak mengurangi kualitasnya jika dibandingkan dengan produk sejenis. Dengan kondisi seperti ini, otomatis target marketnya adalah semua kalangan masyarakat, tanpa kecuali. Produk ini juga mudah didapatkan di mana saja di Bumi Pasundan, salah satunya adalah di Bandung yang baru dilaunching. Oh iya, buat yang penasaran pengen nyicip bolu kukus ini langsung datang aja ya.
Store Siliwangi Bolu Kukus Bandung, Jalan M. Toha 145 kec. Regol (dekat PT. Inti) Bandung. Telp/ wa : 0811-8250-044. Instagram : @siliwangibolukukus, website : http://siliwangibolukukus.blogspot.com. Jam operasional 06.00 s.d. 22.00 WIB.
Om, Tante, Kakak, kenalkan nama saya Deva. Deva masih duduk di sekolah kelas 4 SD. Deva ingin cerita pengalaman yang sangat berkesan.
Waktu masih kelas 3 SD, Deva pernah diajak Mama dan Papa ke Masjidil Aqso. Sudah pada tahu Masjidil Aqso kan? Iya betul, itu adalah mesjid utama umat Islam selain Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Ada yang bertanya, memangnya Deva gak takut datang ke Masjidil Aqso? Alhamdulillah, Deva senang sekali bisa ke sana. Perjalanannya memang melelahkan karena Masjidil Aqso lebih jauh dibanding 2 mesjid besar umat Islam di atas. Untung saja Deva selalu dijaga Mama dan Papa, jadi kalau Deva capek atau ngantuk, Mama dan Papa bergantian menggendong Deva… hehehe.
Menurut hadist dari Rasulullah, “Tidak disarankan melakukan suatu perjalanan berpayah-payah kecuali menuju tiga Masjid, yaitu Masjid Al-Haram (di Mekkah), dan Masjidku (Masjid An-Nabawi di Madinah), dan Masjid Al-Aqsha (di Palestina)“. Jadi, walaupun perjalanannya berat, Deva pengen lakukan karena menuju tempat yang sangat penting dalam sejarah umat Islam.
Deva sering mendengar tentang Masjidil Aqso waktu diceritakan oleh Pak Guru tentang peristiwa Isra Mi’raj. Dalam peristiwa Isra, Rasulullah diberangkatkan oleh Allah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqso sebelum akhirnya melakukan perjalanan menuju langit tertinggi, yaitu Sidratul Muntaha. Saat itulah Rasulullah menerima perintah shalat 5 waktu yang hingga sekarang dijalankan oleh umat Islam. Karena sering mendengar cerita itu, Deva penasaran banget saat diajak oleh Mama dan Papa ke Aqso.
Deva sempat bertanya ke Mama, bahaya atau tidak kalau berangkat ke Aqso? Kan Deva sering lihat di TV ada perang di Palestina. Kata Mama, “Di sana insyaa Allah aman dan umat Islam dari Indonesia diperbolehkan masuk ke Masjidil Aqso. Kalau memang berbahaya, pasti Mama tidak mau mengajak dan membahayakan Deva”. Oh, akhirnya Deva paham dan pamit ke Bapak dan Ibu Guru di sekolah untuk ikut dengan Mama Papa ke Aqso.
Pada hari itu, Deva akhirnya tahu yang namanya negara Palestina dan Masjidil Aqso yang sangat indah di Kota Jerusalem. Selain indah, kompleks Masjidil Aqso itu berisi banyak mesjid. Salah satu mesjid di sana, kubahnya saja dilapisi 80 kg emas, yaitu Masjid Ash-Shakhrah. Mesjid lainnya antara lain adalah mesjid yang berkubah timah berwarna abu kehitaman (Masjid Qibli) dan ada juga mesjid yang terdapat di dalam tanah. Di tanah inilah terdapat banyak sekali jejak para Nabi. Kata Om Pemandu Wisata, “Selain Rasulullah Muhammad S.A.W. yang pernah menjejakkan kaki di sini, Allah juga menurunkan Nabi-Nabi sebelumnya, antara lain Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Isa. Masih banyak lagi Nabi-Nabi yang pernah berdakwah di kota yang bernama lain Baitul Maqdis ini, sehingga pantas dikatakan bahwa tidak ada sejengkal tanahpun yang tidak digunakan untuk berdakwah dan beribadah oleh para Nabi”.
Negara Palestina, walaupun masih dalam masa penjajahan, tapi pemandangannya sangat indah. Kalau kata Mama, pemandangannya seperti negara di benua Eropa. Apalagi kompleks Masjidil Aqso yang merupakan kota Jerusalem Lama, bentuknya sangat unik karena jalanan dan dinding rumahnya terbuat dari batu-batuan seperti rumah jaman dahulu. Ada penduduk yang hidup di dalam benteng ini. Mereka sangat ramah kepada orang-orang yang berkunjung ke Masjidil Aqso. Pintu gerbang Masjidil Aqso sendiri, saat ini selalu dijaga oleh tentara zionis Israel. Sebelum masuk ke dalam pekarangan mesjid, kita harus lapor terlebih dahulu. Tapi tidak perlu takut, yang penting kita ke sana untuk beribadah dan berziarah bukan? Tentara-tentara itu pasti tidak akan mengganggu kita.
Sambil berkeliling berjalan kaki di kota , Om Pemandu Wisata asal Palestina selalu bercerita tentang sejarah para Nabi yang pernah lahir dan berdakwah di tempat-tempat yang kami lewati dan singgahi. Kota Jerusalem, Bethlehem, dan Hebron adalah kota yang paling Deva ingat di sana. Banyak anak Palestina sebaya dengan Deva yang ada di Masjidil Aqso dan di kota Hebron. Deva jadi tahu kehidupan prihatin anak-anak di negara itu. Ada beberapa anak yang membawa ember kecil berisi jatah makan siang seperti bubur encer di kota Hebron. Mama berbisik ke Deva, “Kita jangan membuang-buang makanan ya. Lihat anak-anak di sini, banyak yang hidupnya sangat susah dan makan seadanya”. Alhamdulillah, Deva bersyukur Allah masih memberi rejeki untuk Deva dan keluarga hingga bisa makan.
Selain berkunjung ke beberapa kota di Palestina, Deva dan rombongan juga singgah ke negara lain seperti Jordan dan Mesir. Ada beberapa tempat yang diceritakan dalam Al Qur’an yang Deva singgahi, seperti Gua Ashabul Kahfi di kota Amman, tempat Fir’aun, dan Sungai Nil di Kota Kairo. Gua Ashabul Kahfi di kota Amman Yordania ini tertulis di dalam Al Quran Surat Al Kahfi dari ayat 9-16. Sedangkan yang berkaitan dengan Mesir dan Nabi Musa, diceritakan dalam beberapa surat, diantaranya dalam surat Al Qashash ayat 1-13.
Deva jadi pengen kembali lagi ke sana. Siapa tau teman-teman Deva juga mau, kan asyik kalau bisa pergi ramai-ramai. Tapi Deva belum paham bagaimana cara ke sana soalnya semuanya diurus sama Mama dan Papa. Jadi kalau ada yang bertanya, Deva bilang ke Mama. Kata Mama, “Kalau ada yang mau pergi ke Aqso, sebaiknya jangan sendiri-sendiri, tapi bersama-sama dengan rombongan travel. Kalau pakai travel, semuanya udah enak ada yang mengatur. Berangkat dari hotel langsung naik bis khusus dan tinggal turun di tempat yang dituju. Apalagi kalau paket wisata halal, makanannya pun dipilihkan yang pasti halal. Saat waktunya shalat, semua dibawa ke tempat shalat juga”. Begitulah kata Mama. Dan betul juga, waktu di sana kami semua dapat makanan enak dan halal, mirip dengan makanan Indonesia. Kalau jam shalat, kami sering diajak ke mesjid. Deva kan malu sama Allah kalau sampai tidak shalat, soalnya Deva pengen disayang Allah. Walaupun sedang jalan-jalan, Deva gak mau shalatnya bolong-bolon
Oh iya, Mama juga bilang, “Kalau ada yang mau berangkat ke Aqso, ada beberapa biro travel yang punya paket ke sana. Ada yang setahun sekali, bahkan ada yang punya jadwal tour ke Aqso hampir setiap bulan. Memilih biro travel harus hati-hati karena banyak yang murahan tapi tidak bertanggung jawab dan bahkan menipu konsumennya. Ada beberapa travel yang sudah Mama kenal dan amanah.
Mama juga sempat bilang, “Kalau bukan kita yang pergi ke sana, lalu siapa lagi?”. Wah…betul juga. Umat Islam dari negara lain memang banyak yang tidak diperbolehkan berkunjung ke sana. Mereka bilang, orang Indonesia sangat beruntung. Deva berdoa, semoga banyak teman-teman yang bisa ke Palestina untuk memakmurkan Al Aqso.
Dua tahun lalu di bulan Oktober 2016, saya baru kembali dari China setelah menyusuri beberapa kota di daerah selatan seperti Shenzhen, Guangzhou/ Canton, Yiwu, Shanghai, dan Hangzhou. Kalo nyari Yiwu di peta masih susah, kotanya baru lahir 20 tahun lalu hehe…
Saya ke sana dalam rangka trip bisnis muslim untuk mencari suplier kebutuhan usaha saya di Bandung. Semula saya pikir negara itu ya masih 11-12 sama Indonesia (kuper asli nih), tapi eh ternyata… wow banget sodara-sodara!
Saya kagum sama Singapura, sebuah negara kecil yang maju. Tapi sejak melihat kota-kota di China, Singapura jadi berasa biasa-biasa aja. Di negara sebesar dan sebanyak ini penduduknya, kok bisa membangun kotanya sedemikian keren. Saya kagum rakyat segitu banyak bisa diatur. Negaranya luas banget pula!
Transportasi umum sangat mudah dan lengkap. Mulai dari sepeda sewaan, ojeg, bus, metro (kereta bawah tanah), sampai kereta antar kota yang biasa dan kereta peluru berkecepatan 305 km/ jam. Saya merasakan naik kereta peluru ini dari Shenzhen ke Guangzhou yang jarak tempuh pakai mobil kalau lancar sekitar 2 jam atau 140 KM. Mirip jarak dari Bandung ke Jakarta deh. Pas naik kereta peluru ini, jangankan bisa tidur di kereta, rasanya baru saja duduk tapi sudah disuruh berdiri lagi. Kaget hahaha…
Kondisi di sana berbeda jauh dengan bayangan bahwa produk China itu pasti jelek atau KW sekian. Kendaraan dan bangunan di sana yang terlihat bagus banget. Cuma sepanjang saya di sana belum pernah menemukan motor bensin, semua motor listrik. Mulai dari sepeda listrik sampai motor roda 3 yang untuk jualan atau angkut barang, ternyata pakai baterai. Jalur sepeda motor ini sama dengan jalur pejalan kaki di trotoar, tapi trotoarnya memang lebar banget. Lebar trotoarnya 3 – 5 meter lah. Lega banget kan? Karena motornya pakai listrik, jadi suaranya halus banget. Sering terkaget-kaget saat tiba-tiba si motor sudah pas di samping kita berseliweran.
Kalau lagi bertualang, saya suka sekali mencoba transportasi setempat, terutama yang unik. Saya sempat bertanya kepada kenalan di sana, kalau mau naik Rickshaw alias becak cina yang ditarik oleh orang seperti itu di mana. Bukan jawaban yang saya terima, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal. Katanya mereka seumur hidup belum pernah lihat. Mungkin itu beca jaman dulu kala. Hadeuh…malu juga 😂
Sebelum berangkat, saya juga banyak mendengar kabar tentang WC umum di China yang kondisinya bau dan jorok. Lalu apa yang saya temukan di sana? WC-nya lumayan bersih, putih, tanpa kerak, hanya memang bau pesing krn tidak disediakan air. Yang tersedia di WC hanya tisu saja. Kalau menurut saya sih lebih parah WC umum yang sering saya temukan di Indonesia sih hahaha…
Oh iya, di sana Facebook, Google, Line, Instagram, dan beberapa aplikasi lain diblokir jadi gak akan bisa dibuka. Kecuali ada trik khusus yang saya belum paham caranya. Untungnya Whatsapp dan Telegram masih bisa dibuka. Lumayan untuk kontak-kontak sama keluarga.
Satu hal yang paling penting diperhatikan, orang China jarang yang lancar berbahasa Inggris. Jadi ternyata, cara mudah berkomunikasi adalah dengan membawa HP yg sudah diintall aplikasi translate. Aplikasi yang saya pakai adalah Microsoft Translater. Kalau pake iPhone, aplikasi ini bisa didownload mendadak di sana. Kalau pakai android, karena harus buka google play, pasti gak bisa didownload di sana jadi harus ada persiapan saat masih di Indonesia.
Saat kita ada maksud atau pertanyaan, ketik dalam bahasa Indonesia atau Inggris, nanti translater ini akan memunculkan huruf cinanya. Tinggal perlihatkan layar HP kita ke orang yang kita tanya. Biasanya dia membalas dengan HP dia dan memperlihatkan jawaban ke kita. Aplikasi ini juga bisa langsung menterjemahkan melalui foto atau suara. Petunjuk arah dan lain-lain bisa difoto dan langsung ada artinya dalam bahasa kita.
Semoga sedikit tips ini bisa membantu. Selamat bertualang…
Saya bersyukur memiliki sosok orang tua, terutama ayah, yang tidak merokok. Karena terbiasa di lingkungan non-perokok, saya sangat terganggu kalau ada yang merokok. Demikian pula dalam menyeleksi calon pendamping hidup. Kalau ada yang mendekati saya dan dia perokok, sudah pasti saya akan pergi jauh-jauh hahaha…
Saya juga punya kisah nyata tentang seorang perokok berstatus bapak. Pekerjaan bapak itu adalah kuli bangunan yang pendapatannya tidak menentu. Kadang punya uang dan sering juga tidak punya penghasilan alias tidak bekerja. Demi mendapatkan kesempatan merokok setiap hari, dia akan berusaha apapun caranya untuk mendapatkan uang Rp.20.000,- agar bisa membeli rokok. Misalnya kalau lagi menganggur, dia akan bekerja serabutan, memancing dan menjual hasil pancingannya, atau apapun asalkan uang rokok itu dia dapatkan. Lalu bagaimana dengan kehidupan dan nafkah anak istrinya? Istrinya sering datang ke rumah saya minta dibantu agar iuran sekolah anaknya bisa dibayar. Belum lagi saat anaknya butuh sepatu, baju, dan lain-lain. Ternyata uang untuk sekolah anak bisa kalah oleh rokok. Untuk rokok bisa berusaha dapat Rp.600.000,- sebulan, tapi untuk anak sudah kewalahan menanggung 50.000 – 100.000/ bulan. Merasa masih miskin, tetapi masih sanggup mengeluarkan biaya besar untuk rokok. Ironis sekali.
Beberapa waktu lalu, dalam acara bincang-bincang Ruang Publik “Rokok Harus Mahal”, tema yang diangkat adalah Rokok Harus Mahal, Capaian SDGs (Sustainable Development Goals), dan Menyelamatkan JKN. Tema ini terkait dengan apa yang saya ceritakan di atas. Yang namanya kemiskinan pasti ada kaitannya dengan SDg’s atau Sustainable Development Goals. Perbincangan tersebut bisa disimak lewat 100 radio jaringan KBR, di Jakarta bisa disimak di Power Radio 89,2 FM dan di Pekan Baru bisa didengarkan di Green Radio. Selain itu, bisa juga menyimak melalui aplikasi KBR Radio di Android dan iOS, serta fan page Kantor Berita Radio KBR.
Serial kampanye “Rokok Harus Mahal” ini bertujuan untuk mengingatkan harga rokok yang murah membuat konsumsi rokok makin tak terkendali, termasuk pada anak-anak dan keluarga miskin.
Pengendalian tembakau tak hanya berperan untuk meningkatkan kesehatan. Pengendalian tembakau dapat mendukung 17 poin dalam Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan 2015-2030, termasuk pada poin pertama, yaitu masalah kemiskinan dalam bentuk apapun. Kelompok masyarakat berpendapatan rendah dapat mengalokasikan uangnya untuk belanja kebutuhan primer yang lebih penting dibanding membeli rokok. Menaikan harga rokok sehingga tak lagi terjangkau oleh kelompok miskin diyakini akan mengurangi prevalansi perokok di kelompok ini.
Dalam bincang-bincang tersebut banyak hal-hal kritis yang dibahas dengan para narasumber yang ada di Studio, yaitu:
● Dr Arum Atmawikarta, MPH,Manager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDGs Bappenas
● Tulus Abadi Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Selain itu juga ada Jalal dari Koalisi bersatu melawan kebohongan Industri rokok. Tanya-jawab yang terjadi seperti tercantum di bawah ini.
Kita akan bertanya dulu ke Pak Arum, posisi kita atau posisi pengendalian tembakau dalam SDGs? Apakah posisinya cukup penting
Baik mbak Arin, saya informasikan dulu bahwa kemarin di istana wakil presiden telah diluncurkan rencana aksi nasional untuk tujuan rencana pembangunan berkelanjutan Sustainable Development Goals atau SDG’s. dan hampir dari semua stake holder, dari pemerintah maupun non pemerintah hadir.baik itu dari LSM, kemudian dari akademisi, maupun itu dari bisnis, dan kami sangat gembira karena ini upaya bersama untuk melaksanakan SDG’s ini. Nah SDG’s sendiri yang berkaitan dengan isu pengendalian tembakau itu secara jelas sudah merupakan salah satu indikator yang harus di capai, dan ini sudah merupakan kesepakatan dunia, itu bagaimana mengurangi prevalansi merokok, terutama pada penduduk usia di bawah 15 tahun dan 18 tahun, begitu. Itu dengan tegas sekali di situ, dan juga ada kebijakan-kebijakan lain yang berkaitan denagan rokok, itu letaknya pada goals nomor 3. sebenarnya isu tentang rokok dan tembakau itu bukan hanya di situ, tapi itu juga akan mempengaruhi, seperti yang tadi arin katakan, itu akan berkaitan dengan isu nomor 1 yaitu kebijakan tentang kemiskinan, isu nomor 4 tentang pendidikan, isu nomor 2 tentang pangan dan gizi, dan isu-isu lainnya. Jadi hampir semua SDG’s itu memerlukan dukungan yang kuat, bagaimana kita bisa mesejahterakan masyarakat, termasuk salah satunya adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan juga untuk bisa menghasilkan sumber daya yang lebih baik.
Selain dari sisi kesehatan, jika prevalansi perokok di kalangan miskin bisa bisa dikendalikan juga bakal mendukungan capaian SDGs di bidang kemiskinan, bagaimana menjelaskan ini. Kalau kita lihat lingkarannya seperti apa?
Pertama mungkin kita lihat dari isu rokok dan kemiskinan, yang kita lihat bahwa, dengan misalnya mengalokasikan uang untuk membeli rokok terutama penduduk miskin, itu menyebabkan tingkat pendapatan yang siap untuk dipakai oleh keluarga itu makin menurun, itu yang pertama. Terus yang kedua, yang berkaitan dengan kesehatan, jelas bahwa orang yang merokok itu jelas resiko terhadap kesehatannya itu meningkat. Kemudian dia mudah sakit, dan begitu sakit dia memerlukan pelayanan atau uang yang lebih banyak. Kemudian produktifitas dia akan menurun untuk bekerja, karena memang orang yang perokok itu umumnya tidak sehat. Nah ini merupakan satu siklus tentang terjadi kemiskinan. Jadi dia tidak produktif lagi karena sakit, lebih banyak mengeluarkan pendapatannya, itu merupakan satu siklus kemiskinan.
Ya sekarang saya mau menanyakan satu dua pertanyaan untuk mas jalal. Mas jalal sudah sering mengamati pengendalian tembakau kaitannya SDG’s dan juga pengendalian rokok ini dalam kemiskinan, apa yang anda amati pak Jalal?
Mungkin pertama-tama yang harus saya bilang bahwa kaitan antara rokok dengan SDG’s, mungkin banyak orang kalau ditanyain itu merujuknya ke SDG 3 ya, maksudnya 3A ya itu tentang kesehatan. Tetapi sebetulnya kalau kita lihat-studi-studi kaitan antara rokok dengan SDG’s itu sebetulnya kita mendapatkan pesan yang sangat jelas dengan bukti yang telah dibeberkan oleh para peneliti. Sebetulnya rokok ini urusannya dengan jauh lebih banyak tujuan dalam SDG’s. saya inget sebuah organisasi terkemuka di Jerman misalnya menayatakan bahwa 11 dari 17 tujuan SDG’s itu sulit atau bahkan mustahil dicapai kalau rokok tidak dikendalikan. Saya sendiri kebetulan melihat bahwa mungkin lebih dari 11 mungkin 13, karena waktu saya melihat studinya, kemudian saya lihat beberapa tujuan lagi juga sangat terkait tapi belum dicantumkan. Nah Indonesia dinyatakan 17 dari 17, seluruhnya begitu. Jadi akan sangat sulit dicapai kalau rokok tidak dikendalikan. Kemudian ini kan SDG’s 1, dan saya mendengar dari narasumber sebelumnya, ini kaitannya dengan siklus kemiskinan atau bahkan siklus pemiskinan, karena kita tahu data 7 tahun terakhir sebetulnya kelompok miskin yang merokok itu proporsinya meningkat. Kalau kita tahu data bahwa sekarang juara dunia pria merokok itu proporsinya ada di Indonesia, karena pria Indonesia dewasa 67 persennya merokok. Nah dari proporsi merokok itu sebetulnya sangat tinggi proporsi orang miskin di situ. Kalau kita lihat buruh, petani, dan nelayan, itu yang paling besar proporsinya jika dibandingkan di antara perokok itu. Nah ini sudah dikonsumsi oleh orang-orang miskin, nah lebih jauh lagi tentu saja yang terjadi kalau mereka meneruskan konsumsinya, mereka bisa sakit, kemudian produktifitasnya menurun, mereka harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk kesehatannya. Lebih jauh lagi mungkin, atau yang pertama-tama bahkan sebelum mereka sakit pun mereka sudah menggeser pengeluaran, dari pengeluaran yang bermakna seperti pendidikan dan kesehatan, nutrisi untuk keluarganya, itu sudah digeser untuk rokok. Jadi sangat terkait erat, gitu antara, kalau kita mau menyelesaikan masalah kemiskinan, kita mau mencapai SDG’s 1, tentu saja rokok itu harus benar-benar dikendalikan.
Mas Jalal terima kasih banyak sudah mau bergabung, selamat melanjutkan aktifitas anda. Tadi ada kajian-kajian yang dilakukan pak Jalal ya mengenai SDG’s ini. Mas Tulus kalau kita ngomong tentang pengeluaran rokok dalam keluarga, anda juga punya penelitian atau observasi mengenai ini, bagaimana sih sebenarnya yang sudah diamati YLKI?
Saya kira memang apa yang disampaikan oleh dokter Arum dan mas Jalal tadi itu menggambarkan aspek sosiologis yang ada di masyarakat dimana masyarakat menengah bawah khususnya gitu ya sangat gandrung dengan konsumsi rokok. Nah itu terjadi pertama karena keterjangkauan yang cukup tinggi, ya kita di Indonesia masih tergolong yang termurah di dunia, dan itu pun masih dijual secara eceran. Jadi betapa mudah mengakses rokok bagi siapapun di Indonesia, hampir tidak ada pengendalian dari sisi penjualan. Padahal kalau kita lihat dari produk yang ada, rokok ini kan benda yang kena cukai, barang yang dilekati cukai. Nah, cukai ini kan pertama ditanggung oleh konsumen, dibayar oleh konsumen, dan kedua sebagai instrumen pengendalian bagi konsumen yang merokok. Sehingga harusnya dengan barang yang kena cukai ini seharusnya tidak boleh dijual sembarangan, tidak boleh diiklankan. Nah itu anehnya di kita bahwa ini barang kena cukai tapi menjadi barang bebas. Cukai itu kan sinteks, jadu itu pajak dosa. Sehingga kita harus membedakan, mana barang yang kena cukai dan mana barang yang kena pajak. Kalau barang kena pajak itu barang normal, kita bisa membelinya dimana saja, bisa kapan saja. Tapi kalau barang yang kena cukai itu barang abnormal, tapi di Indonesia ini menjadi barang normal. Ini yang menjadikan semua orang sangat familiar dengan rokok dan ini berbahaya sekali terhadap dua komunitas, pertama adalah komunitas anak-anak dan remaja, dan kedua perokok miskin atau rumah tangga miskin. Inilah yang sebenarnya sangat rentan untuk di konsumsi rokoknya.
Sebenarnya apa yang membuat keluarga miskin ini cenderung mengabaikan kebutuhan lain, pendidikan, dan juga gizi, kesehatan, ketika membelanjakan uang rokoknya. Apa mas (Tulus) yang sebenarnya mendasari hal itu?
Kita tahu bahwa rokok dalam kandungannya kan ada nikotin, nikotin ini kan adiksi. Siapapun yang sudah teradiksi itu, tidak kenal kaya, tidak kenal miskin, sehingga dia akan kencanduan untuk itu. Nah ketika di satu sisi ada adiksi dan ada aspek keterjangkauan bagi mereka itu yang kemudian jadi klop.
Jadi kira-kira harus membuat agar tidak terjangkau, bagitu ya pak Arum?
Saya kira salah satu varibel yaitu masalah keterjangkauan ya, supaya lebih mendapat perhatian lebih soal itu.
Nah inilah kemudian yang membuat Banyak pihak mendesak agar rokok dibuat tidak terjangkau. Tidak terjangkau artinya dibuat lebih mahal, lebih mahal daripada sekarang. Sekarang kita bersama mas Jojo di Sintang, selamat pagi Pak Jojo?
Perdebatan soal ini tuh susah, harus ada kontrol dari pabriknya. Karena kalau sudah teradiksi sulit. Kalau anak-anak di sekolah bagaimana mereka tidak mau merokok kalau mereka lihat gurunya juga merokok. Ini tidak bisa dibiarkan
Pak Jurah di Cirebon, selamat pagi Pak Jurah?
Di tv ada iklan bahaya merokok. Tapi Kalau melihat respon kakak saya yang merokok, saat lihat iklan itu dia tidak ada respon apa-apa, kayak tidak berpengaruh. Bahkan sambil nonton iklan itu sambil merokok. Seolah-olah sudah tau bahaya tapi tetap dilakukan. Kenap itu?
Kita akan mecoba Jawab pak Jojo dan Pak Jurah, silahkan pak Tulus. Mungkin pertanyaan terakhir tadi kaitannya dengan adiksi itu ya.
Ya memang begitu ya, benar sekali yang yang dikatakan pak Jurah ya, ini adalah karakter ya, kalau perokok yang sudah kecanduan gak akan terpengaruh oelh apapun. Nah iklan itu memang bukan untuk orang yang sudah kecanduan rokok. Jadi iklan itu lebih ditunjukkan kepada kalaangan non merkokok, jangan sampai ada bertumbuh perokok-perokok pemula karena melihat iklan rokok. Nah ini dari survei yang dilakukan oleh banyak pihak di Indonesia, dramatisnya adalah anak-anak sekolah itu 90 persen pernah melihat rokok dari berbagai lini, baik itu di media luar ruang, televisi dan segala macam, sehingga inilah kemudian sasaran utama bagi indutri rokok memang dengan iklan itu adalah untuk perokok-perokok pemula bagi anak-anak maupun remaja, sehingga dia terpapar pesan-pesan dalam iklan rokok itu. Bahkan dari survei itu, mereka sangat hapal dengan jingle-jingle iklan rokok
Baik kita lanjutkan untuk penelepon selanjutnya, ada Pak Bima di Singkawang, selamat pagi.
Sebetulnya untuk saya itu simple saja, kalau rokok selain bahaya untuk badan. Sebenarnya juga untuk mencegah anaknya merokok, dan sebenarnya mudah jika dimulai dari keluarga. Karena kalau lihat orang tua ngerokok mereka akan tertarik dan ingin coba-coba. Di luar pun guru juga merokok, akhirnya mereka termotivasi. Dari coba-coba awalnya, akhirnya kecanduan.
Jadi harus dimulai dari keluarga. Baik pak, kalau kita menjawab pertanyaan pak Jojo, pak Arum apakah memang kita bisa mengendalikan dari hulunya, dalam hal ini pabriknya, menurut Pak Jojo tadi.
Iya memang masalah rokok itu kan cukup kompleks, karena ini dalam penyususan kebijakan juga paling tidak ada beberapa bidang yang digarap bersama-sama. Misalnya, katakanlah bidang pertanian, kan selalu ini klainya para petani rokok. Tapi kenyataanya bahwa jumlah petani rokok itu hanya sedikit sebenarnya, itu yang pertama. Yang kedua di bidang perindutrian itu kan lebih banyak impor bahan baku untuk membuat rokok itu kan. Maksudnya kalau alasan rokok merupakan suatu komoditas yang di Indonesia itu, terbantahkan juga begitu. Di bidang kesehatan itu juga jelas, pengaruhnya juga betul, itu juga sudah banyak penelitian. Kemudian di bidang perdagangan juga sama, bahwa skitar 67 persen dari bahan bakunya di impor juga. Kemudian di bidang kesejahteraan juga tadi berkaitan dengan kemiskinan. Jadi artinya dalam menyelesaikan masalah rokok itu memang kebijakan lintas bidang itu kita harus lakukan terus menerus. Jangan sampai nanti satu sektor menyampaikan ini dan satunya lagi tidak di garap. Memang harus sinergi antara satu sama lain. Oleh sebab itu, kebetulan nih di dalam SDG’s yang sedang kita lakukan dan kita juga akan menyusun rencana 5 tahun yang akan datang, RPJM di tengah-tengah itu bagaimana rokok itu ada di salam isu lintas bidang yang harus digarap bersama-sama dengan berbagai sektor tersebut.
Kita ke Aceh sekarang, banyak telepon, semoga kita terjawab juga ya bagaimana kita mendesign rokoknya agar tidak terjangkau tadi. Rokok harus mahal, begitu ya. Kita ke Aceh dulu, ada Reza di Aceh, Selamat pagi,
Kalau menurut saya, tak hanya cukup mahal, tapi juga hrs dibatasi tempat ngisapnya. Kalau kita lihat aparatur negara di kantor pemerintah mereka juga merokok, kemudian di pengajian, pak Haji juga merokok, kemudian guru, dan di rumah sakit mereka juga merokok. Coba lah buat denda, tak usah sampai jutaan tapi benar-benar dijalankan agar mereka jera juga, kita dapat mencontoh malaysia. Kan kalau di denda terus lama-lama males juga.
Intinya sama saja dengan yang dikatakan pak Arum, semua ini harus bekerja sama. Kalau tadi dicontohkan bagaimana kemudian rokok itu dibatasi oleh KTR ya. Tapi kita tidak bicara KTR, namun itu bisa menjadi masukan. Kalau kita bicara rokok harus mahal, apakah dengan menaikkan harga rokok bisa membantu keluarga miskin untuk mengurangi belanja rokok? Silahkan mas Tulus,
Iya tentu saja, karena itu kan, dari pengalaman empiric di seluruh dunia, itu rokok memang di jual mahal. Tadi saya katakan di awal bahwa rokok di Indonesia itu adalah rokok paling murah di duni, dan bisa di jual secara eceran, jadi membuatnya sangat accessesible bagi masyarakat untuk membelinya. Nah bagaimana agar rokok mahal, salah satunya adalah dengan cukai. Bisa dikatakan bahwa instrumen cukai itu dibayar konsumen dan itu menjadi tanggung jawab negara untuk menaikkan cukai setinggi mungkin. Nah di kita regulasinya memang di UU cukai itu memang 52 persen dari harga aslinya. Pertama yang harus dilakukan adalah harusnya ada revisi UU cukai agar harganya bisa lebih tinggi dari pada itu. Tapi sekarang cukai yang ada implementasinya baru ada sekitar 38 persen. Jadi masih ada ruang yang sangat cukup untuk level 52 persen sehingga rokok betul-betul mahal dan secara ekstrim tidak tercapai oleh keluarga miskin dan anak-anak.
Kita tersambung dulu dengan pak Eko di Padang yang tadi terputus, silahkan Pak Eko
Selain rokok mahal 50 ribu, kalau bisa lebih dari 50 rb. Soalnya kalau lihat generasi sekarang tuh dari smp sudah merokok. Kalau gak salah kemarin mau ada design yang di bungkus rokok yang bagus, mengerikan sekali, tapi belum diterbitkan, kalau tidak salah tahun depan. Design seprti itu pada bungkus rokok juga bagus tuh karena gambarnya mengerikan sekali.
Poinnya adalah selain gambar mengerikan tapi juga dibuat lebih mahal, jangan cuma 50 ribu. Kalau dari pak Arum juga melihat, apakah dengan mendesak harga rokok lebih mahal ini akan mengurangi kemiskinan yang tentu saja tujuan akhirnya adalah pencapaian SDG’s, bukan tujuan akhirnya tapi akan nyantol kesana.
Ya, sebenarnya kajian tentang menaikkan harga rokok itu rasanya tahun lalu sudah hampir goal. Tapi ternyata tidak tembus juga, waktu itu kan ada 50 sampai 55 ribu itu kajian dari itu. Jelas ini bahwa jika harga rokok dinaikkan itu akan mempengaruhi juga sikap dari penduduk miskin untuk lebih mencoba memilih hal-hal yang lebih diperlukan, karena sekarang itu kalau pada keluarga miskin itu untuk rokok itu lebih tinggi dari pada misalnya untuk beras, atau untuk membeli ikan, membeli susu dan sebagainya itu. Saya kira ini kalau harganya dinaikkan, mau tidak mau, dia juga akan merubah sikapnya, pengeluarannya sehingga paling tidak akan mengerem untuk belanja hal itu.
Nomor dua setelah beras menurut BPS. Artinya lebih tinggi dari pada pendidikan, kesehatan dan lainnya. Kita ke Pak Herman di Kalimantan Barat, selamat pagi,
Masalah tentang rokok ini, menurunkan kemiskinan dan pengendalian rokok. Untuk menaikkan harga rokok dan gambar yang ada pada bungkus rokok itu saya sangat setuju dan mendukung. Kalau bisa harganya ditinggikan lagi harganya agar benar-benar terjangkau.
Kita sekarang ke Karanganyar, selamat pagi, silahkan Pak Teja
Saya sangat respect dengan tema pembicaraan hari ini. Hal-hal ini sangat di butuhkan di karanganyar karena di sini banyak anak-anak sudah banyak yg merokok. Saya tadi lihat di internet di kesehatan nasional sudah 54,8 persen ya, banyak sekali makan dari itu saya dukung sdg’s untuk kampanye. Hal pertama yang bisa dilakukan adalah dimulai dari pendidikan dan keluarga. Kalau keluarganya baik, bapaknya tidak merokok ya pasti anaknya tidak merokok. Jadi contohnya dari orang tua.
Sekaligus saya bacakan dari Yana di Depok, mengapa katanya banyak kelompok miskin yang merokok? Apa karena edukasi yangkurang? Kemudian dari Ali di Jambi, dari beberapa pekan lalu saya dengarkan tentang harga rokok. Yang disebut murah itu berapa ya? Karena skrg ini ada yg 5000 tapi ada yang 25 ribu. Kemudian Gungun, setuju sih tapi kampanye pabrik rokok cukup kuat. Semoga sukses kampanye rokok harus mahalnya. Okay, silahkan dijawab dulu, hampir sama ya, kita tadi bicara soal angka 50 ribu dan yang disebut murah bener gak? Ada yang 5 ribu (mas Tulus)
Ya betul sekali, karena di daerah itu banyak sekali merk-merk lokal. Murah di jual karena mereka tanpa cukai, jadi sangat murah. Kalau kita berbicara rokok itu harus mahal dan angka 50 ribu itu bukan dari langit itu sebenarnya kajian dari sebuah survei itu yang dilakukan oleh FKM sebuah lembaga DFKM UI, sebenarnya pertanyaannya sederhana, akan berhenti meroko jika angka diterapkan sampai berapa? Mayoritas akan berhenti merokok ketika harganya 50 ribu rupiah per bungkus. Nah itu presentase tertinggi ketika mereka akan berhenti merokok jika harga rokok 50 ribu, itu saya kira akan menjadi instrumen paling efektif untuk pengendalian rokok di kalangan keluarga miskin.
Pak Arum, apakah angka 50 ribu itu akan menjadi kunci di keluatga miskin, barangkali bisa dilihat dari ketika diskusi-diskusi soal SDG’s.
Ya memang ini kan kajian tentang harga yang 50 ribu itu para pakar yang tadi disebutkan DFKM UI itu muncul untuk itu. Dan sudah terbukti di banyak negara bahwa instrumen untuk bisa menekan prevalensi merokok itu adalah dengan menaikkan harga tersebut. Ya pada saat ini ya 50, ya termasuk yang akan kita kampanyekan,tapi kedepan akan kita tingkatkan lagi, sehingga peluang untuk, terutama kelompok miskin untuk bisa mengakses rokok itu yang ingin kita tekan terus. Karena terus terang yang paling menderita akibat rokok itu pada kelompok yang miskin tersebut. Misalnya, contohnyalah dalam belanja mingguan pada keluarga miskin itu 22 persennya untuk belanja rokok. Padahal untuk beli beras hanya 19 persen. Iya benar justru bergeser, mereka justru akan mengalokasikan yang keluarga miskim itu untuk beli rokok.
Kita ke Berin di Sintang, selamat pagi,
Kalau untuk menekan rokok agar berkurang seperti yang pemerintah lakukan itu kurang efektif. Solusi agar konsumen rokok agar berkurang itu harus dari diri sendiri seperti dari sisi religi dsb. Karena sepertinya menaikan harga cukai itu kurang menyentuh.
Memang harus dari berbagai lini, dari pendidikan, dari semuanya harus dilakukan secara bersama. Dan mendesign rokok agar menjadi tidak tercapai adalah salah satu yang bisa dilakukan. Saya akan bacakan sms atau WA yang sudah masuk. Ada Wiwik di Surabaya, maaf lomba blog paling lama berapa lama setelah acara? Syaratnya apa saja? Kalau sudah ikut petisi boleh ikut? Kemudian ada Facebook yang masuk dada dari Wikan Wiratsongko, Selama harga rokok masih bisa dibeli ketengan, masyarakat miskin akan tetap bisa membeli rokok. Ini adalah salah satu poin yang harus kila lakukan ya selain harus mahal, harus ada larangan.
(Mas Tulus)Karena ketengan atau eceran itu memang hampir hanya di Indonesia, rokok itu bisa dijual ketengan atau eceran, sehingga harga yang tadi sudah kita tetapkan 50 ribu itu bisa rontok lagi karena di jual ketengan. Jadi jika harganya sudah mahal, yaitu 50 ribu, maka harus dilarang dijula ketengan. Akan membuat jadi tidak efektif kalau dijual ketengan.
Sekarang kita ke Pak Eko di sekadau, Kalimantan Barat
Faktanya rokok sekarang itu harganya banrolnya 25 rb tp dijual 15 rb, 17 rb. Jadi gimana ini? Kan jdnya tidak efektif
Okay, mas Tulus, kita semuanya bisa berpartisipasi dengan ikut menandatangani petisi ya mas
Ya karena petisi ini menjadi sangat penting debagai sebuah desakan kepada pemerintah dari suara publik, dimana ada aspirasi publik sebenarnya mendukung bahwa rokok itu harus mahal. Ini apa lagi yang kurang dari hal ini, karena ketika publik sudah mendukung, sudah menandatangani petisi, ini kan sebuah kekuatan, sebuah people power ya yang harus didengar pemerintah, bahwa ini juga merupakan kegelisahan publik. Bahwa rokok sudah menimbulkan dampak kegelisahan secara besar atau global, salah satunya dengan harga yang mahal itu. Dan itu pun dengan instrumen itu hanya menyasar di kelompok menengah ke bawah, bukan orang kaya, ya silahkan ya ekstreamnya gitu. Karena kalau sakit ya dia punya uang, ya ini orang miskin untuk beli beras kurang, untuk lauk pauk pun, tapi dia merokok dan kalau sakit entar di subsidi dari pemerintah, ini kan gak adil.
Sudah ada yang menandatangani sekitar 4000 lebih ya dengan target 5000, kalau bisa lebih lebih baik. Kita akan bacakan, tadi pernyataan atau testimoni dari sekadau Kalimantan Barat bahwa angka di banrol itu tidak sesuai. Nanti harus ada pengawasan. Saya bacakan sekaligus, di kupang ada saya dukung, kalau perlu jangan kasih gratis perokok berobat. Kemudian ada Darius di Medan, SDGs dan rokok murah sangat menarik, tapi bukankah kelompok industri atau swasta termasuk mungkin dari rokok juga digandeng sukseskan SGDs? Bagaimana kalau mereka punya program pemberdayaan? Frans di Tomohon, mengapa kalau mahal justru jadi mencegah kemiskinan? Boleh dijelaskan? Sabeth di Manokwari, yang penting selamatkan anak-anak. Kalau mahal, uang saku anak-anak punya tidak cukup beli rokok? Yuni di Semarang, rokok elektrik dilarang saja, isinya membahayakan, dan kalau nanti rokok mahal,tapi rokok elektrik masih ada, akan sia-sia. Kemudian Riris di Jakarta, SDGs terkait rokok ini rujukan utamnya kesehatan atau kemiski an? Bagaimaba kira2 capaian pengentasan kemiskinan aka disumbang dr rokok mahal? Boleh kita dari sisi SDG’s dulu ini pak?
Ya tadi seperti yang mas Jalal sampaikan, bahwa isu rokok itu bukan hanya terletak pada isu goals nomor 3 yaitu tentang kesehatan, tapi itu akan menyebar ke goals lainnya. Paling tidak itu akan berkaitan dengan satu, goals kemiskinan. Ada goals nomor 2, diketahui bahwa keluarga yang merokok itu anak-anaknya menderita kekurangan gizi. Terus goals nomor 3 mengenai pendidikan, terus nomor 5. artinya SDG;s itu memang merupakan sarana yang terbaik masalah rokok yang sudah luar biasa di negara kita ini, sebagai wadah, dan semua juga mendukung hal itu. Jadi menurut saya ini upayanya harus digarap secara serius, baik itu dari segi desakan masyarakat, terus dari regulasinya, ini juga penghasil regulasi, peraturan, ini juga kita harus berjuang untuk hal itu. Kemudian di kebijakan-kebijakan, di kemetrian-kementrian juga kita harus berjuang.
Kita ke penelepon terakhir, Pak kristiawan di Purwakarta,
kendalanya apa aja sehingga belum bisa terwujud? Selain karena kekuatan dalam tanda kutip ekonomi dari para produsen atau barangkali faktor politis sebagai sumber cukai kita yang besar.
Ya silahkan Mas Tulus
Cukai sebagai sumber pemasukan, ketika kita mendorong harga rokok menjadi mahal, itu kan pemerintah justru memiliki potensi untuk mendapatkan cukai yang semakin besar lagi, karena indonesia itu kementerian keuangannya itu masih sangat sedikit, pendapatan cukai dari rokok. Kalau sekarang 152 triliun, kita potensinya 250 triiun lebih dari harga cukai, kenapa? Karena cukai terlalu rendah. Oleh karena itu, ketika mendorong harga rokok yang lebih mahal dengan cukai yang lebi tinggi, itu justru efek positifnya adalah pemerintah lebih banyak mendapatkan cukai lebih tinggid ari rokok dan masyrakat lebih sehat. Karena kemudian dengan harga mahal, karena karakter konsumen kita secara umum sensitif harga. Kalau ada harga yang mahal maka mereka akan berpikir. Dan menguranginya apalagi untuk rumah tangga miskin. Persyaratannya adalah kalau kita bicara keterjangkauan yaitu ketika mahal, aspek keterjangkauannya menjadi terganggu. Dengan syarat tidak boleh dijual eceran
Makanya memang harus mahal dan harus ada pengawasan. Saya akan bacakan sms-sms yang sudah masuk. Hadi di Padang, harga rokok mahal itu buat merek terkenal saja atau rokok indstri kecil juga? kemudian Basri di Jambi, tanda tangan petisinya disebarkan lagi. Saya sudah. kemudian Findadi Bekasi, keuntungan dr rokok mahal nanti buat pabrik atau buat negara dalam bentum cukai? Kemudian Suprianto di Jakarta , Kalau rokok mahal, bagaimana antisipasinya dengan rokok ilegal? Titik di Bekasi, Apa betul rokok tidak bisa diekspor? Maksudnya negara2 tujuan menolak?
Kita jawab ya
Rokok ilegal sampai detik ini masih ada, dan itu tugas pemerintah untuk melakukan reinforcement, karena ketika rokok ilegal tanpa banrol, tanpa cukai, kerugiannay double. Negara tidak mendapatkan pendapatannya dari cukai, dan masyarakat jadi lebih murah mendapatkannya karena tidak ada cukai yang harus dibayarkan. Berarti ditanyakan bahwa cukai itu sebenarnya yang menerima negara, dilkelola negara
Itu yang nanti kira-kita nanti harga yang sampai masyarakay tidak terjangkau tapi di sisi lain dengan harga itu kita mendapatkan cukai yang lebih besar lagi. Closing statement, apa yang harus kita lakukan pak Arum?
Pertama, jelas ini harus digaungkan terus ya karena memang rakyat sudah menuntut hal itu. Kita ingin melindungi masyarakat kita, terutama masyarakat miskin, supaya mereka sehat, lebih produktif lebih sejahtera. Jangan sampai uang yang begitu sulit didapatkannya itu, habis untuk rokok. Dan sebagai komoditas yang kena cukai, sekali lagi sudah sewajarnya rokok itu dijual mahal, harus. Karena itu filosofi cukai sebagain instrumen pengendalian. Instrumen yang paling efektif adalah dengan harga, dengan rokok yang mahal itu.
Demikianlah diskusi bertema Rokok Itu Mahal. Semoga uraian ini bisa bermanfaat.
Surat Al Mulk 15 :
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Ternyata, cukup banyak ayat Al Qur’an yang mengajak kita untuk bepergian mencari ilmu dan menikmati rejeki dengan bertualang di bumi ciptaan Allah ini. Salah satunya adalah dalam Surat Al Mulk ayat 15 di atas. Belakangan ini juga mulai populer fenomena Wisata Halal di berbagai belahan dunia. Apa itu wisata halal? Wisata halal buat saya adalah sebuah pengalaman menjelajahi berbagai belahan bumi dengan tetap mengkonsumsi makanan yang halal, tetap bisa menjalankan shalat 5 waktu, dan jika memungkinkan juga mengunjungi mesjid di berbagai tempat di dunia.
Eropa memiliki daya pikat yang sangat tinggi sebagai tempat wisata internasional. Karena keindahan alam dan bangunannya yang bersejarah, Eropa adalah sebuah daratan yang membuat banyak orang berangan-angan untuk mengunjunginya. Apakah masyarakat di Eropa toleran terhadap umat muslim? Alhamdulillah hal itu sudah saya buktikan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan selama petualangan 3 bulan berada di Eropa beberapa tahun lalu.
Pada bulan Februari 2015, saya meninggalkan kota kelahiran saya, Bandung, untuk pertama kalinya menuju ke benua baru, Eropa. Seperti apakah Eropa? Wah, tidak terbayang sebelumnya. Kesempatan itu datang bersamaan dengan saat saya dan suami mengambil kuliah Magister jurusan Bisnis di ITB. Kampus kami bekerja sama dengan kampus Goldsmith University di Kota London. Kami diberi kesempatan untuk mengambil 1 semester kuliah di Goldsmith. Sebuah kesempatan langka yang akhirnya kami coba.
Saat berangkat dari Bandung, kota pertama yang kami tuju adalah London di Inggris alias UK. Untuk menuju ke sana, kami memilih maskapai Kuwait Air yang berangkat dari Kuala Lumpur. Bandung-Kuala Lumpur-Kuwait-London. Perjalanan yang lumayan panjang dan melelahkan tapi sangat berkesan. Petualangan yang saya jalani bersama jodoh halal ini adalah kesempatan pertama saya menginjak benua Eropa yang sohor tersebut. Jauh sebelum kami menikah, suami saya pernah berkunjung ke Eropa bersama keluarganya. Saya, yang masih “bau kencur” dalam urusan traveling ke Eropa hanya berbekal modal nekad saja.
Selama kurang lebih 2 bulan, saya mengikuti perkuliahan di Goldsmith University London. Itu terhitung perkuliahan yang setara dengan 1 semester di Indonesia. Di awal kedatangan, saya dan suami tinggal di hotel backpacker yang sekamar isinya beramai-ramai. Setelah beberapa hari, kami mencari kamar yang bisa disewa bulanan atau mingguan. Lewat iklan online, kami menyusuri beberapa rumah dan akhirnya menemukan tempat yang paling cocok di rumah seorang Jerman. Sebenarnya, kamar tersebut hanya untuk 1 orang saja. Tapi kami minta ijin untuk dapat menyewa bareng, lagi pula tempat tidur single buat orang bule memang cukup besar untuk bisa dipakai kami berdua. Harga sewa kamar di sana kalau dihitung pakai rupiah, sewa sebuah kamar selama sebulan di London masih bisa dipakai untuk bayar kontrak 1 rumah selama setahun di Bandung hehe… Muahal tapi tidak semahal di hotel tentunya.
Selama di London, untuk mengirit dan menjaga agar bisa makan makanan yang halal, saya memasak sendiri di tempat kost. Belanjanya kadang di pasar dan kadang di supermarket. Kebetulan tidak jauh dari tempat saya tinggal, di daerah Peckham London cukup banyak kawasan yang dihuni oleh muslim. Di supermarket juga tersedia rak-rak berisi bahan makanan halal, mulai daging ayam, daging sapi, sosis, dan lain-lain. Bahkan di daerah China Town di tengah kota London, ada toko bahan makanan khas Asia yang menjual segala macam bumbu dan makanan dari Indonesia.
Kami juga sempat berkelana ke kota-kota lain di Inggris, seperti Leeds, York, Bath, Liverpool, Brighton, Manchester, dan lain-lain hingga yang terjauh, Edinburgh di Scotlandia. Terus terang, berkelana dengan status mahasiswa, kami jadi punya “fasilitas” istimewa yaitu banyaknya bantuan tempat menginap gratis di apartemen atau kamar yang disewa oleh para mahasiswa Indonesia di UK. Masya Allah, mereka baik banget. Kami kadang baru kenal di udara lewat facebook atau dikenalkan teman, tapi uluran tangan menyediakan tempat menginap saja sudah merupakan berkah tak terhingga untuk kami.
Setelah 2 bulan lamanya menjadi penghuni London dan seputar Inggris, saya dan suami nekad coba-coba menjelajahi sebagian negara di Eropa Barat dan Eropa Timur selama hampir 1 bulan, tepatnya 26 hari. Sesaat setelah mengajukan visa UK dan disetujui dengan proses yang alot, kami juga mengajukan visa Schengen dalam waktu yang mepet selagi belum berangkat dari Indonesia. Berhubung mepet, saya meminta bantuan biro jasa tour & travel di Bandung.
Kalau bukan karena urusan sekolah kembali di usia yang sudah tidak belia ini, entah kapan saya bisa menginjak tempat impian banyak orang ini. Setiap melihat biaya tour ke Eropa, saya cuma bisa bergumam, hmmm mahal amat ya… Tiba-tiba Allah membelokkan langkah kaki saya ke berbagai tempat ini, tentunya jadi pengalaman tak terlupakan sepanjang hidup saya. Saya pernah berbagi taxi untuk “mengirit” dari Bandara Roma, Italy menuju ke hotel dengan sepasang turis bule yang ingin berkunjung ke Italy juga. Mereka tertawa mendengar petualangan kami sambil berkata, “Mungkin kamu tidak akan pernah mendapatkan kesempatan lagi untuk bertualang seperti ini.”
Begitulah, dengan modal nekad, tanpa dipersiapkan jauh-jauh hari untuk memilih negara dan tempat yang akan dikunjungi, kami berdua melangkahkan kaki begitu saja dengan mental harus siap menghadapi berbagai kemungkinan. Kami tidak menghitung berapa biaya yang harus kami keluarkan. Bukan ngerasa kebanyakan uang juga sih, tapi karena saya agak tidak apdet masalah trip ke Eropa dan cuma mengandalkan naluri saja. Asli masih culun banget deh urusan destinasi-destinasi di Eropa.
Hasil dari kenekatan kami itu, sejak berangkat dari London-Inggris, kami sempat singgah ke Brussel-Belgia, Paris-Perancis, Denhaag + Amsterdam + Volendam + Zaanse Schans + Roterdam di Holland alias Belanda, Cologne + Bonn + Berlin di Jerman, Vienna di Austria, Prague di Cekoslovakia, Venezia + Roma di Italy, serta salah satu negara terkecil di dunia yaitu Vatican. Ini adalah petualangan paling gila yang pernah saya lakukan, ke belasan kota di beberapa negara secara non-stop.
Kondisinya akan sangat berbeda kalau berangkat melalui biro tour khusus. Pasti akan tertata dengan rapi dan tujuan yang jelas kalau berangkat dalam rombongan tour, tidak seperti itinerary kami yang menclok ke sana kemari. Yah, namanya juga cuma modal nekad. Sekarang jadi ada salah satu kenangan indah yang tidak terlupakan tapi bukan untuk ditiru tentunya hahaha…
Apa tantangan paling berat dalam petualangan ini? Pastinya berkaitan dengan kebutuhan perut. Mencari tempat menginap sih hampir tanpa kendala. Kadang menumpang di rumah teman, kadang sewa apartemen, kadang menginap di hotel. Kalau makanan, tentu kami harus pilih-pilih apa makanan yang mendekati halal (karena tidak ada sertifikasi khusus), seperti roti, beras (di beberapa kota kami masak nasi sendiri), dengan lauk yang kami bekal khusus kemana-mana dan beli di toko atau minimarket khusus bahan makanan Asia. Di Eropa, ada beberapa toko Asia seperti itu, terutama di Belanda. Jadi di toko seperti itu, kami bisa membeli mie instan, sarden, dan makanan-makanan lain yang berasal dari Indonesia.
Belanda adalah negara yang paling lama kami jelajahi. Selain kota-kotanya sangat bersih dan cantik, transportasi umumnya juga sangat nyaman serta wifi kencang di berbagai lokasi. Jangankan di stasiun kereta, di setiap kereta pun ada wifi khusus yang mudah diakses. Tambahan hal menarik lainnya adalah kemudahan dalam mencari bahan makanan dan makanan siap makan bercita-rasa Indonesia. Nah, komplit kan?
Selama bertualang di Eropa tersebut, saya tidak terlalu sering membeli makanan di restoran, kecuali dalam kondisi terpaksa. Selain mahal, hati sering ragu akan kehalalannya, sehingga saya sering memasak makanan saat menginap di rumah teman atau menyewa apartemen. Di tempat-tempat tersebut, biasanya memang tersedia alat masak. Jika dibandingkan dengan mengikuti tour halal yang disediakan berbagai travel, seperti Adinda Azzahra Tour & Travel, http://adindaazzahra.com, pastinya akan lebih nyaman dan terjamin ikut program wisata yang ditawarkan. Selain waktu tidak terbuang untuk mencari makanan karena biasanya sudah disediakan di restoran-restoran partner yang menyediakan makanan halal, juga ada guide yang mengingatkan tentang waktu shalat dan kunjungan ke mesjid yang ada di suatu negara atau kota. Walau demikian, mencoba bertualang sendiri dan hidup bagai warga setempat dengan memasak makanan sendiri juga punya kenangan yang sangat berkesan. Kamu sendiri, milih yang mana? 😊
Bismillah…
Saya posting ini untuk menjawab rasa penasaran beberapa teman yang ingin mengetahui tentang trip saya ke Palestina, Masjidil Aqso, dan tempat-tempat lain di sana. Di postingan kali ini, sengaja saya ingin bercerita sedikit tentang bagaimana saya menuju Masjidil Aqso dan Kota Jerusalem.
Dahulu, mendengar kata Jerusalem dan Betlehem, tidak pernah sedikitpun terlintas di benak saya bahwa kota-kota ini adalah tempat yang penting bagi umat Islam. Saya sering mendengar kalau umat Kristen banyak yang mengunjungi kota-kota ini sebagai bagian dari wisata rohani mereka. Belakangan, saya semakin sering mendengar tentang Aqso. Di mana itu? Saya tidak terlalu memperhatikan. Yang pasti, sebegitu terkesimanya saya saat melihat tayangan video seorang teman yang menggambarkan tentang liku-liku jalan berbatu menuju Aqso. Wah…rekaman itu sangat berbekas di benak saya.
Sejak itu, saya niatkan ingin berangkat ke Aqso. Saya tunggu dan tunggu, kapan ada teman yang posting tentang Aqso. Eh, tiba-tiba seorang teman FB mengabarkan bahwa dia baru pesan tiket dari Kuala Lumpur, Malaysia ke Amman, Yordania lalu pulang dari Cairo, Mesir ke KL lagi. Langsung deh kepo dan ikutan pesan tiket juga untuk keberangkatan Februari 2018 pakai Saudia Airline. Udah, gitu aja. Selanjutnya saya belum tahu mau bagaimana. Pokoknya udah punya tiket, insya Allah niat menuju Aqso sudah mantap.
40 hari menjelang berangkat, akhirnya sudah fix ada sekitar 40 orang yg sudah membeli tiket dan kami secara kolektif dibantu oleh salah satu biro tour mengajukan visa Israel. Berbeda dengan pengajuan visa negara lain yang memerlukan paspor, pengajuan visa Israel ini hanya melalui email. Jadi buku paspor tetap kita pegang dan bisa kita pakai kemana-mana sebelumnya. Sekitar 3-5 hari sebelum berangkat, muncul pemberitahuan bahwa visa saya, suami, dan anak disetujui tapi ada 3 anggota rombongan yang visanya ditolak dan memutuskan batal berangkat.
Singkat cerita, tibalah saya di kota Amman, Yordania atau Jordan dan menginap selama 3 malam di sini sebelum memasuki wilayah Israel. Suka tidak suka, untuk menuju Palestina memang harus melalui imigrasi atau border Israel dulu sehingga kita membutuhkan visa dari mereka. Pagi jam 7, kami berangkat dari hotel di kota Amman menuju border imigrasi Israel yang terdekat, yaitu border Allenby. Sepanjang perjalanan di bis, tour guide dari Yordania beberapa kali memperingatkan kami agar tidak mengambil foto-foto saat sudah memasuki wilayah border, walaupun hanya memfoto jalanan atau sungai di sekitarnya dari dalam bis. Jangan sampai ada masalah yang membuat kami bisa ditolak masuk ke Israel, katanya. Ngomong-ngomong, supir dan guide di bis kami belum pernah ke Aqso lho… Buat mereka, menuju ke Aqso sangat sulit. Kalaupun bisa masuk wilayah Israel, ada kemungkinan mereka tidak dapat keluar lagi dan kembali ke negaranya. Di sini saya merasa beruntung sekali, walau jauh dan harus bersusah payah, ternyata saya pernah menyentuhkan dahi saya di lantai Masjid Al Aqsha.
Alhamdulillah kami semua lolos walau sempat deg-degan karena saya, suami, dan seorang teman kena random. Paspor sempat ditahan dan ditanya-tanya lebih lanjut sebelum akhirnya kami dinyatakan lolos dan boleh masuk ke wilayah Israel. Paspor kami tidak dicap dan memang saya juga akan menolak kalau dicap, tapi kami diberikan penggantinya berupa kartu yang diprint dan ada foto serta data kami.
Kota pertama yang kami singgahi adalah kota Jericho, kota tertua di dunia. Di kota ini hanya sebentar saja mampir ke toko souvenir yang menjual minyak zaitun dan lain-lain. Selanjutnya kami mengejar waktu ke Jerusalem agar bisa shalat Jumat di Masjidil Aqso. Jaraknya kalau tanpa antri di imigrasi dari kota Amman Yordania hanya 2 jam saja kira-kira. Kayak jarak dari Bandung-Jakarta tanpa macet ya?
Pertama melihat kota Jerusalem, saya terharu dan kagum. Pemandangan yang saya lihat dari jendela sungguh luar biasa. Seperti kota-kota di Eropa. Cantik sekali. Pas bis berhenti di dekat sebuah benteng, yang katanya kami sudah sampai, saya seperti diajak kembali ke masa lalu. Jaman kerajaan dalam negeri dongeng yang bentengnya seperti benteng Romawi. Keren amat, dalam hati saya. Lalu di mana masjidnya?
Kami pun menyusuri gang di dalam benteng. Ternyata, di dalam benteng itu terdapat sebuah kota yang dibangun dari batu. Rumahnya dari batu, jalannya dari batu. Inilah kota #BaitulMaqdis atau #JerusalemLama. Konon tidak sejengkal tanahpun di kota ini yang tidak dipakai beribadah oleh para Nabi. Di sana ada kios-kios kecil yang berjualan aneka kebutuhan, anak-anak yang bermain, orang dewasa yang berkegiatan, dan lain-lain. Kami dibantu oleh guide menyusuri jalan berbatu ini. Mungkin kami berjalan lebih dari 0,5 km. Jalanan di sini berundak-undak, ada tangga-tangga dan ada jalan yang tidak bertangga. Lebarnya paling 1-3 meter. Untuk yang memakai kursi roda memang agak kesulitan melewati jalan ini, walau ada juga yang bisa melewatinya. Menjelang shalat Jumat itu, suasana sangat ramai orang yang menuju mesjid.
Alhamdulillah, kami bisa shalat Jumat di sana. Yang unik, setelah shalat Jumat, Imam langsung menyambung kembali dengan shalat Ashar jama taqdim yang di-qashar. Jadi shalat 2 rakaat untuk Ashar setelah selesai shalat Jumat yang dilakukan oleh Imam Besar dan para jamaah. Imam utama memimpin shalat dari Mesjid Al Aqsha berkubah hitam (Kubah Qibli) bersama dengan jamaah pria di dalamnya. Jamaah wanita shalat di Mesjid Al Aqsha dengan Kubah Emas (Kubah Asshakrah). Di dalam kedua mesjid terbesar ini, jamaah sangat penuh dan sebagian besar shalat di pelataran batu serta halaman rumput yang penuh pohon zaitun. Tidak nampak Al Aqsha yang sepi pada saat shalat Jumat ini. Alhamdulillah. Beda dengan di waktu shalat lainnya. Mesjid ini sangat sepi.
Yang tidak ada di mesjid lainnya adalah tentara bersenjata lengkap dan besar-besar yang menjaga pintu masuk mesjid. Wih…sempet bikin kaget nih. Setiap pengunjung pun dicegat dengan pertanyaan.
“Andonesi? (Indonesia)”, tanya tentara Israel.
“Yes!”, jawab saya dan langsung dipersilakan masuk. Suami saya dicegat beberapa kali saat memasuki wilayah gerbang masjid ini. Benar-benar ketat, seperti memasuki imigrasi yang isi tasnya pun harus diperlihatkan.
Silakan menyimak foto-foto dan video berikut ya… Semoga panggilan dari Al Aqsha sampai juga buat siapapun yang membaca kisah ini ya… 😊
Pada musim haji 1438 Hijriah/ 2017 lalu, Allah memanggil kembali saya dan suami setelah kami diundang untuk pertama kali berhaji pada tahun 2008. Pada Desember tahun 2008 itu adalah saat yang sangat berkesan. Untuk pertama kalinya saya memiliki paspor dan untuk pertama kalinya saya bepergian ke luar negeri. Jangankan ke Arab, sekedar ke Singapura atau Malaysia yang dekat pun belum pernah saya alami sebelumnya. Ternyata kesempatan ke luar negeri langsung saya alami untuk menuju Baitullah. Allahu Akbar. Nikmat mana lagi yang kudustai…
Pada tahun 2008 itu, atas saran dari kakak ipar, kami berangkat bersama Travel Haji dan Umroh Safari Suci. Wah nekad banget ya, serasa horang kayah aja berangkat haji memakai fasilitas bintang lima. Entah kenapa kami berani sekali waktu itu, padahal panggilan haji reguler pun sudah di tangan setelah mengantri selama 2 tahun. Mungkin kami percaya bahwa Allah yang akan membiayai niat ibadah kami. Walau semua biaya kami cicil sampai tetes uang terakhir, alhamdulillah kami bisa berangkat dan melunasi biaya. Allah memang ajaib, tidak bisa dipahami bagaimana skenario-Nya berjalan.
Kesan selama bersama Safari Suci itulah yang membuat saya berdoa di Arafah agar bisa berangkat haji bersama orang tua yang belum pernah ke tanah suci pada saat itu. Sangat tidak mudah meyakinkan orang tua bahwa beliau secara fisik akan mampu ke sana karena ibu saya memiliki sakit di kakinya. Ayah saya yang saat ini sudah tiada pun saat itu masih sehat wal’afiat. Setelah orang tua berhasil diyakinkan, saya mendaftar kembali untuk haji pada tahun 2013 ke travel yang sama, yaitu Safari Suci. Saya tidak punya pengalaman lain selain travel ini untuk masalah haji jadi saya tidak mencoba-coba lagi. Namanya untuk orang tua apalagi yang kondisinya sudah sepuh dan tidak 100% sehat, saya memilih travel yang sudah saya ketahui sendiri reputasi dan pelayanannya.
Kondisi saat mendaftar tahun 2013 ternyata sudah sangat berbeda dengan tahun 2008. Kalau tahun 2008 kami mendaftar awal tahun dan bisa berangkat tahun itu juga, pada 2013 kami mendapat info bahwa kemungkinan baru bisa berangkat pada 2017 atau 2018. Wow, antriannya lumayan juga ya. Untuk mendaftar, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain menyetor biaya awal sebesar 4.500 USD/ orang.
Akhirnya pada awal Juli 2017, kami mendapat telfon dari pihak Safari Suci bahwa kami mendapat panggilan untuk berangkat pada Agustus 2017. Kami diminta menjawab secepatnya untuk mengejar pengurusan berkas-berkas haji. Saat itulah kami menghadapi dilema yang sangat besar. Selain harus menyiapkan sisa biaya yang sangat besar (biaya 2017 sebesar 10.000 USD/ orang), bapak saya tercinta sedang dirawat di rumah sakit karena menderita kanker paru. Saat menerima telfon tersebut, bapak saya sedang menjalani kemoterapi pertama. Walau dalam kondisi sakit, tentu saja kami harus bertanya kembali tentang niat berhaji kepada bapak. Dan jawaban dari bapak sungguh mengharukan. Beliau tetap ingin berangkat berempat bersama kami (istri, anak, dan menantunya). Begitu terlihat semangat beliau walau hari demi hari sangat terlihat bahwa tubuhnya semakin melemah. Subhanallah…
Melihat keyakinan bapak kamilah yang akhirnya menguatkan niat kami untuk tetap berangkat, apapun yang terjadi. Setiap bangun dari tidur selama dirawat di rumah sakit, yang ditanyakan selalu kapan berangkat. Kalau ada yang menengok, beliau seperti sedang manasik, mempelajari doa-doa dan bertanya apakah doanya sudah benar. Kadang beliau mendoakan yang menengok supaya bisa pergi haji juga. Manusia berencana, Allah yang menentukan. Allah tahu bahwa fisik ayah saya sudah melemah. 7 hari sebelum kami berangkat haji, Allah memanggil beliau. Memang bukan ke Arafah, tapi insya Allah ke jannah.
Di saat bapak saya sakit hingga wafat inilah terasa sekali artinya menjadi keluarga besar Safari Suci. Mereka ikut menengok saat di rumah sakit, ikut melayat, bahkan membantu meminjamkan ambulance untuk jenazah. Urusannya bukan lagi seperti biro jasa dan nasabahnya, tapi lebih seperti keluarga.
Perjalanan haji kami 14 Agustus 2017 hingga 9 September 2017 tetap kami teruskan walau tanpa bapak. Alhamdulillah masih ada ibu yang bisa bersama kami. Ibu saya terlihat sangat puas dilayani travel ini. Bukan hanya timnya saja yang sangat sigap, tapi para jamaahnya pun sangat baik dan rendah hati.
Kami terbang menggunakan Saudia Airlines dari bandara Soekarno Hatta Jakarta dan langsung menuju Madinah. Di Madinah, kami menginap di Hotel Movenpick selama 4 malam. Setelah dari Madinah, kami bergerak untuk melaksanakan rangkaian haji pertama, yaitu umroh wajib menuju Mekkah. Saat melaksanakan umroh tersebut, saya berniat melaksanakan haji untuk orang tua saya, yaitu bapak saya yang baru meninggal dunia. Saya diingatkan oleh Pak Ustad Maman agar jangan sampai saya lupa bahwa haji kali ini niatnya berbeda dengan haji untuk diri sendiri. Jangankan niat untuk haji nantinya, mulai dari rangkaian umroh pun niatnya sudah untuk badal haji orang tua, pesannya.
Setelah menempuh perjalanan dengan bis yang sangat nyaman dari Madinah selepas dzuhur dan makan siang, kami pun tiba di Mekkah malam hari sekitar pukul 8-9 malam. Di Mekkah, kami menginap di Hotel Hilton yang berada persis di depan Masjidil Haram. Setelah masuk ke kamar masing-masing dan mengambil air wudhu, kami lanjutkan dengan melaksanakan ibadah umroh hingga dini hari.
Kami menginap di Hotel Hilton selama kurang lebih 8 hari sambil menunggu saatnya menuju Mina lalu wuquf di Arafah. Tapi sebelum menuju Mina, semua jamaah dipindahkan ke hotel yang agak jauh dari Masjidil Haram sebagai hotel transit. Hotel transit ini berada di daerah Hudaibiyah. Kami sangat menikmati tinggal di hotel transit ini. Hotelnya sih tidak terlalu besar, tapi sajian istimewa diberikan oleh Safari Suci kepada para jamaah di hotel ini, yaitu masakan khas Indonesia yang dimasak oleh pemukim Mekkah yang berasal dari Cianjur. Saat di hotel-hotel sebelumnya, para jamaah sudah mulai galau dan bosan dengan menu-menu internasional, di hotel ini kami khusus diberi hidangan ala Indonesia yang membuat kami bisa makan lahap. Alhamdulillah, stamina menjelang wuquf bisa meningkat berkat makanan seperti ini.
Saat di Mina, kami menempati tenda berdesak-desakan sebagaimana layaknya tenda-tenda lainnya. Tapi alhamdulillah posisi tenda kami sangat dekat dengan gedung jamarat, bisa dikatakan bersebelahan. Sebagai perbandingan, tenda jamaah haji reguler cukup jauh dari gedung jamarat, mungkin sampai beberapa kilometer jaraknya. Tenda kami letaknya agak di bagian atas bukit tapi alhamdulillah ada lift khusus yang bisa digunakan jamaah dengan kursi roda atau orang tua sepuh. Di dalam tenda tersedia alas tidur dari busa, bantal, selimut, dan perlengkapan mandi seperti sikat gigi, sabun, dll.
Pada saat di Arafah, kami menempati tenda ber-AC yang bentuknya seperti tenda dome. Di dalamnya terdapat alas tidur seperti kasur busa yang bisa dilipat. Berhubung cuaca bulan September memang sedang panas, di dalam tenda ber-AC pun hawanya tetap terasa panas. Ujian kesabaran bagi semua jamaah yang harus ikhlas dengan kondisi alam. Pada saat di Arafah inilah kami mendapat siraman rohani berupa Khutbah Arafah yang diberikan oleh Bapak KH. Miftah Faridl. Khutbah yang mengingatkan perjalanan haji pada 2008 lalu di mana saya sangat merindukan bisa berhaji bersama orang tua. Janji Allah, tiada doa yang tidak didengar dan tidak dikabulkan pada saat wuquf di Arafah. Subhanallah…
Selesai rangkaian haji berupa mabit di Mina, wuquf di Arafah, dan perjalanan selanjutnya hingga ditutup oleh thawaf, sa’i, dan tahallul di Masjidil Haram, semua jamaah kembali ke Mina untuk melaksanakan lempar jumrah dan mabit. Alhamdulillah, dengan adanya hotel transit, sebelum kami kembali ke Mina, kami bisa membersihkan diri dan mandi terlebih dahulu. Pada saat berhaji tahun 2008, belum ada fasilitas hotel transit sehingga untuk mandi ratusan jamaah harus antri di kamar mandi yang jumlahnya tidak seberapa. Inilah salah satu peningkatan pelayanan yang saya rasakan dari Safari Suci pada tahun ini.
Saat beres menginap selama beberapa hari di Mina pun kami masih berada di hotel transit selama beberapa hari sambil menunggu waktunya kembali ke tanah air. Untuk menjaga kemabruran, setiap hari selalu ada shalat berjamaah dan tausiyah, baik dari KH. Miftah Faridl maupun dari ustad H. Maman Suherman. Letak hotel yang jauh dari keramaian membuat jamaah sangat kompak berkumpul dan menghabiskan waktu dengan silaturahmi antar jamaah. Saat menginap dekat Masjid, pasti kami hanya bertemu pada saat jam makan saja. Di luar jam itu, semua sibuk dengan urusan masing-masing di seputar Masjidil Haram.
Nikmatnya ibadah kali ini adalah berkah Allah. Di samping itu, sangat terasa kerja sama yang baik antara tim Safari Suci sehingga kami merasa diperlakukan dan diurus dengan baik. Ibu saya terlihat sangat bahagia. Keraguan beliau tentang sulitnya ibadah haji langsung sirna. Malah masih di Arafah pun beliau langsung ingin berhaji kembali tanpa tahu kenapa alasannya. Tiba-tiba hatinya sudah rindu. Alhamdulillah Ya Allah atas semua nikmat-Mu memuliakan orang tua hamba. Terima kasih Safari Suci atas segala bantuan tenaga dan pikiran untuk saya dan keluarga. Semoga berkah perjalanan usahanya hingga 30 tahun saat ini dan seterusnya. Aamiin…
Si Hitam adalah sebutan untuk mobil kami. Bukan mobil pertama kami, tapi dia punya kisah istimewa. Berawal dari keinginan anak-anak yang ingin punya “mobil pintu gesel” (masih cadel) alias mobil yang pintunya digeser. Mungkin ngeliat teman-temannya diantar jemput pakai mobil Freed, Alphard, dan lain-lain. Akhirnya, kami sebagai orang tua yang ingin menyenangkan anak, mulailah mikirin mobil yang pintunya digeser itu. Setelah menyisihkan pendapatan dipotong pengeluaran-pengeluaran, ternyata masih bisa menggeser-geser kebutuhan dan ada uang Rp. 5 juta yang bisa dipakai untuk DP alias uang muka mobil. Geli juga sih… Emang hari gini masih ada DP mobil cuma 5 juta? Ah, siapa tau ada dealer gila yang mau ngasih mobil dengan uang muka segitu… hihihi…
Daripada nebak-nebak, suamiku nekad mendatangi dealer Honda. Buat nanya-nanya harga DP Honda Freed ceritanya… Pede banget sih?! Ternyata, jawaban orang showroomnya, DP termurah sekitar 60 jutaan. Dengan pikiran belum nyerah, suami saya masih nanya lagi ke showroom, “Jadi kalau pakai DP 5 juta gak bisa ya?” Hahaha…tanpa harus diceritain, udah ketebak kan jawaban apa dari showroomnya?
Waktu itu, kami lagi seneng-senengnya dengerin tausiyah dari Ustad Yusuf Mansyur tentang sedekah. Saat pulang dari showroom tanpa hasil, suami saya berkata, berhubung uangnya gak akan cukup untuk beli mobil, gimana kalau disedekahin aja? Ya boleh juga. Kami lupa sedekahkan uang 5 juta ke mana, pokoknya udah hilang rasa penasaran tentang DP mobil yang mustahil tadi.
Kira-kira sebulan kemudian, seorang teman suami mengirimkan broadcast (BC) melalui BBM bahwa dia berniat menjual beberapa kendaraan dan barang-barang miliknya yang lain. Ternyata diantaranya ada 2 buah mobil Daihatsu Luxio dijual. Mobil ingin dijual/ over kredit dan DP yang disebutkan dalam pesan BC tersebut adalah sebesar Rp. 30 juta. Suami mengabari saya tapi kami abaikan pesan tersebut. Tigapuluh juta? Duitnya juga belum ada tapi lucu juga nih, ada mobil “pintu gesel” seperti yang anak-anak pengen. Tapi sudahlah, nanti siapa tau ada lagi rejeki yang lain.
Beberapa hari kemudian, BC dari teman suami datang lagi. Harga DP turun jadi Rp.25 juta. Abaikan aja lagi hehe… Masih jauh…
Ternyata beberapa hari kemudian, muncul BC kembali dari teman yang sama. DP sudah turun jadi Rp.15 juta!! Oh…kami baru sadar, sepertinya teman kami sedang terdesak kebutuhan sampai DP mobil yang ingin dijualnya melorot terus. Akhirnya kami kontak beliau sambil ingin melihat mobil yang dimaksud. Saat kami datang, kami langsung jatuh cinta pada mobil Daihatsu Luxio Matic keluaran tahun 2011 ini. Hitam, bersih, dan sangat terawat.
Teman kami ternyata sedang kesulitan meneruskan cicilan mobil yang harus dibayar sekitar 3-4 tahun lagi sebesar kurang lebih Rp. 5,5 juta per bulan. Jadi dia bermaksud melepas mobil ini agar hilang beban cicilannya. Karena dia dan suami saya sudah berteman lama, tiba-tiba dia berkata, silakan ambil mobilnya Rp.5 juta saja, yang penting ada transaksi over kredit dan dia minta kami teruskan cicilan mobil hingga lunas. LIMA JUTA? Cukup untuk beli mobil? Masya Allah…ternyata cukup ya DP segitu kalau Allah berkehendak!
Akhirnya, tahun 2012 itu, si Hitam pun jadi teman kami sehari-hari yang membantu mengantar anak ke sekolah, mengantar keluarga, mengangkut barang, dan segudang fungsi lainnya. Banyak kenangan indah yang diberikan oleh si Hitam. Anak-anak senang sekali ada mobil ini. Mobil sebesar ini sangat cukup buat mereka bermain dan tidur-tiduran sambil menggelar kasur saat kami ajak mereka ke luar kota.
Selama beberapa kali di bulan Ramadhan dari tahun ke tahun, saya ajak anak-anak bertualang hanya berempat saja. Ibunya nyetir, anak-anak main sambil kami singgah ke beberapa kota di Jawa Barat. Bersama si Hitam, saya pernah mengalami petualangan melewati gunung yang gelap saat terjadi longsor di Majalengka, cuma saya dan anak-anak. Alhamdulillah si Hitam tidak pernah menyusahkan ibu-ibu seperti saya. Coba kalau mogok di tengah hutan yang gelap, saya bisa apa coba? Ngebayanginnya aja ngeri hehehe…
Lalu ke mana suami saya? Suami biasanya nyusul kok setelah pekerjaannya agak longgar. Si Hitam selain bisa menyenangkan keluarga, bisa diajak cari duit juga. Beberapa kali ikut pameran kaos atau pameran musik, ya si Hitam yang bantuin kami. Alhamdulillah, seperti rejeki dari langit mendapat kesempatan langka punya mobil dengan cara ini. Alhamdulillah, cicilan mobil juga lunas beberapa tahun lalu jadi lepas sudah kewajiban bulanan kami.
Sekitar setahun lalu, saya membeli mobil lagi, sebut aja si Putih. Si Putih ini aslinya saya beli untuk dipakai Papah (ayah saya) yang waktu itu masih sehat dan senang menyetir. Saat Papah sakit dan akhirnya dipanggil ke Rahmatullah, otomatis si Putih jadi harus parkir di rumah. Si Hitam dan si Putih harus berdampingan di garasi. Suami mulai merasa mobil jadi terlalu banyak. Takut mubazir, katanya. Padahal cuma 2 sih, kadang kami pakai masing-masing karena pekerjaan kami sering harus berpencar. Tapi kalau dijual, mobil mana yang harus dijual? Sama si Hitam dan si Putih, rasanya masih sayang. Apalagi anak-anak, suka banget sama si Hitam.
Ternyata perasaan gak ikhlas kalau mobil dijual itu berubah jadi perasaan ikhlas kalau mobil diberikan kepada yang membutuhkan. Semua berawal dari pengalaman saat datang ke Rumah Teduh Sahabat Iin. Kok bisa ya, gak rela mobil dijual tapi malah lebih rela kalau mobil jadi milik umum alias lepas dari tangan saya? Sampai sekarang saya tidak tahu kenapa bisa mengalami perasaan ini. Yang pasti, kunjungan saya sekitar bulan September 2017 ke Rumah Teduh di sekitar Jalan Sederhana Bandung membuat saya menangis berhari-hari. Perasaan macam apa ini?
Saat menengok pasien yang terkulai lemah di Rumah Teduh (kebanyakan pasien kanker) dan sempat mendengar percakapan salah seorang pasien yang ingin diantar ke laboratorium tapi kendalanya tidak ada ambulance yang siap, hati jadi terenyuh. Ditambah lagi mendengar cerita dari Teh Iin, pengurus Rumah Teduh, bahwa pada Hari Raya Idul Adha ada beberapa pasien yang meninggal bersamaan dan sulit mencari ambulance, makin membuat hati saya ikut gelisah. Bahkan beberapa waktu lalu, pasien sekarat yang ingin kembali ke rumahnya di luar kota sampai harus disewakan angkot dan akhirnya meninggal dunia di angkot tersebut.
Teringat lagi pengalaman pribadi saat kami pun sempet kebingungan mencari mobil jenazah untuk membawa jasad Papah ke pemakaman. Kami yang mampu menyewa mobil saja kebingungan, apalagi para dhuafa yang tidak punya keluarga di Bandung dan harus membawa saudaranya yang sakit pulang ke kampung? Ya Allah…
Beberapa hari memendam keharuan tentang tiadanya mobil untuk para dhuafa itu, saya bercerita pada suami dan minta ijin apakah boleh memberikan mobil kami untuk Yayasan Rumah Teduh. Alhamdulillah, seperti biasa, suami sangat mendukung keinginan ini dan kami pun bicara pada anak-anak. Jawaban anak-anak ternyata langsung mengijinkan tapi tidak sekarang, katanya. Mobilnya pengen dipakai sepuas-puasnya dulu untuk keluar kota lagi. Saya tersenyum dan menyadari anak-anak sedang masanya sangat menikmati ruang main yang bisa berpindah tempat ini. Tapi bagaimana orang lain yang di luar sana sedang merintih menahan sakit dan butuh kendaraan?
Akhirnya saya coba meyakinkan anak-anak dengan kalimat pilihan seperti ini, “Kalau kita punya barang kesayangan dan barang itu kita berikan ke Allah, pasti Allah akan memberi ganti yang lebih baik. Ingin diganti di dunia, di akhirat, atau di dunia dan di akhirat?”. Ketiga anak saya kompak menjawab, “Di dunia dan di akhiraaat…” Oke, sepakat ya, ga ada yang keberatan kalau si Hitam kami titipkan ke Allah lagi kalau begitu. Alhamdulillah…
Dan akhirnya, transaksi dengan Allah itu terjadi. Awalnya saya menyangka bahwa si Hitam akan diserah terimakan di KUA (Kantor Urusan Agama) sesuai info dari Teh Iin Rumah Teduh. Ternyata, rencana berubah dan serah terimanya dilakukan di Masjid Agung Trans Studio Mall Bandung, di sela-sela sebuah acara Tausiyah dari Ustazah dan Ustad terkenal. MC-nya pun Kang Daan Aria, seorang public figure dan disaksikan ratusan pasang mata. Masya Allah, perasaan saya tidak menentu.
Teh Iin memberi semangat bahwa semua ini tujuannya untuk dakwah dan juga agar banyak saksi, manusia dan malaikat. Tidak ada yang tahu soal umur, kata Teh Iin, jadi ingin agar mobil ini tetap menjadi milik umat saat kami tidak panjang usia dan semoga tidak ada yang menyalahgunakan.
Sejak 11 Oktober 2017, si Hitam kesayangan resmi diserahterimakan kepada pengurus Rumah Teduh Sahabat Iin untuk diubah menjadi ambulance. Sebelum mobil siap diubah karoserinya jadi ambulance pun ternyata si Hitam sudah banyak mengantar pasien Rumah Teduh untuk berobat ataupun pulang ke rumahnya di luar kota Bandung.
Alhamdulillah, si Hitam ditakdirkan Allah untuk membahagiakan banyak orang, termasuk kami sekeluarga. Semoga setiap putaran rodanya dapat menjadi ladang amal buat kami sekeluarga dan berkah untuk banyak orang yang terlibat dalam operasionalnya. Semoga pula, tulisan ini bukan bernilai riya tapi bisa menjadi hikmah untuk memberi semangat kepada sesama saudara.
Aamiin Ya Rabbal Alamiin…
Perkenalan dengan Rumah Teduh Sahabat Iin berawal dari iseng-iseng kepo melalui instagram saya tentang anak-anak berkebutuhan khusus, seperti anak dengan kelainan kromosom, sakit yang langka, dll. Entah bagaimana, akhirnya gambaran-gambaran anak-anak itu sering muncul di IG. Sering saya simak dan saya ikuti ceritanya. Sampai pada suatu hari, muncul video tentang seorang remaja yang menderita kanker dan sedang kesakitan. Ternyata remaja tersebut menginap di Rumah Teduh. Dan saya follow akun Rumah Teduh tersebut sehingga makin banyak gambaran yang saya peroleh tentang kondisi di sana.
Sempat terbersit ingin mampir ke Rumah Teduh, tapi pada saat itu saya disibukkan oleh kegiatan menunggui orang tua di rumah sakit yang juga sedang menderita kanker paru-paru. Keinginan berkunjung pun saya simpan hingga nanti ada kesempatan yang entah kapan.
Ketika akhirnya ayah saya meninggal, kami mengumpulkan beberapa barang yang diantaranya adalah obat-obatan almarhum yang pastinya tidak dapat digunakan lagi. Ada obat kanker, obat penahan sakit, dll. Obat-obatan itu akhirnya saya putuskan untuk diberikan ke Rumah Teduh. Jadilah saya dan Teh Iin, pengurus Rumah Teduh janjian bertemu di lokasi. Lokasinya tidak jauh dari Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
Saat itu, saya baru paham bahwa Rumah Teduh Sahabat Iin berkonsep sebagai rumah singgah. Ada beberapa rumah yang dikontrak dan dikelola oleh Yayasan Rumah Teduh untuk menampung pasien RSHS yang belum kebagian kamar atau sedang masa kontrol atau sedang menjalani uji laboratorium untuk memastikan penyakit mereka. Para pasien ini biasanya belum memperoleh kamar rawat khusus di RSHS. Seluruh pasien yang ditampung di Rumah Teduh ini adalah pasien BPJS kelas 3 yang berasal dari daerah-daerah se-Jawa Barat di luar kota Bandung. Ada yang berasal dari Garut, Purwakarta, Indramayu, Majalengka, dan lain-lain.
Jumlah Rumah Teduh yang berada dekat RSHS adalah sebanyak 6 unit rumah, yang terdiri dari Rumah Teduh 1, 2, hingga 6. Rumah-rumah ini berada di dalam gang yang kecil. Yang mengejutkan adalah biaya sewa rumah per tahunnya bisa dibilang mahal. Harganya mencapai Rp.55 juta/ tahun, padahal rumahnya tidak ada yang terlalu besar, namanya juga di gang kecil. Sebelum Rumah Teduh ini ada, pasien dan keluarganya terpaksa harus menyewa kamar seharga Rp. 1-1,5 juta/ bulan. Pasti biaya itu sangat memberatkan karena mereka adalah pasien yang berekonomi lemah. Apalagi, pasien yang dirujuk ke RSHS dari daerah biasanya yang kondisinya sudah parah dan tidak bisa lagi ditangani oleh rumah sakit setempat. Saat menunggu giliran pemeriksaan laboratorium di RSHS yang bisa memakan waktu berbulan-bulan, tidak mudah bolak-balik ke kampung bagi para pasien yang sakit parah ini. Bisa karena faktor biaya, bisa pula karena faktor stamina.
Hadirnya Rumah Teduh benar-benar menjadi solusi bagi para dhuafa yang papa ini. Mereka akhirnya punya tempat berteduh, tanpa perlu menyewa lagi atau terlunta-lunta di lorong rumah sakit. Demikian mulianya hati Teh Iin dan Kang Toni yang menjadi pengurus Rumah Teduh. Di saat kita lebih nyaman memikirkan diri sendiri, mereka malah memikirkan orang lain. Tidak hanya menyediakan tempat saja, mereka berdua juga harus siap lebih lelah lagi kalau ada masalah lain yang menimpa pasien, seperti tidak ada keluarga yang mau mengurus, pasien yang sudah mengeluh sangat kesakitan padahal giliran pengobatan di RSHS masih lama, tidak punya biaya untuk makan, dan sebagainya.
Kenapa dinamakan Rumah Teduh Sahabat Iin? Menurut Teh Iin, sang pendiri yang bernama lengkap Iraningsih Achsien, Rumah Teduh ini bisa diwujudkan berkat dukungan dari sahabat-sahabatnya di Facebook. Saat Teh Iin menceritakan hal apapun yang berkaitan dengan kebutuhan Rumah Teduh di Facebook, para sahabat beliau ikut berperan menjadi donatur hingga akhirnya rumah singgah ini semakin banyak dan semakin banyak yang tertampung juga. Jadi nama tersebut dipilih karena menurut Teh Iin pemiliknya adalah sahabat-sahabat beliau semua.
Untuk saat ini, Rumah Teduh kebanyakan menampung pasien yang memiliki penyakit kanker. Tapi ada pula beberapa pasien di luar kanker yang turut ditampung di sini, asalkan bukan penyakit menular. Dalam satu rumah, pasien yang bisa ditampung sebanyak 10-15 orang. Jumlah ini belum termasuk keluarganya. Bisa dihitung, betapa banyak kaum dhuafa yang saat ini bisa terbantu oleh keberadaan Rumah Teduh.
Jadi, apa yang bisa kita perbuat untuk membantu mereka di Rumah Teduh? Selain doa tentunya, kita bisa berpartisipasi menjadi donatur dan relawan. Saat ini, Rumah Teduh akan bertambah menjadi Rumah Teduh 7. Biaya operasional mengelola 7 rumah ini pastinya tidak kecil. Untuk kontrak rumah saja setiap tahunnya membutuhkan biaya di atas Rp. 350.000.000,- yang disumbangkan oleh para donatur dan lembaga zakat. Belum lagi biaya-biaya lain seperti bantuan pengobatan, makanan, transportasi, sewa ambulance, dan lain-lain. Alhamdulillah, saat ini Rumah Teduh sudah memiliki ambulance sendiri yang berasal dari waqaf/ hibah salah seorang donatur. Walau ke depannya akan berkurang biaya untuk sewa mobil, tapi operasional ambulance ini nantinya juga akan dibiayai oleh kas Rumah Teduh.
Untuk yang ingin berpartisipasi memberikan donasi, bisa menyalurkannya ke Rekening BCA 8100148596 atas nama IRANINGSIH.
Apabila memerlukan informasi lainnya bisa menghubungi nomor HP Kang Toni +6281221187707 atau Teh Iin +62811224937.
Buat yang memiliki akun Instagram, silakan mengikuti kegiatan Rumah Teduh Sahabat Iin ini dengan follow @rumah_teduh_sahabat_iin
Apa tempat yang paling dituju saat jamaah haji atau umroh datang ke Madinah? Pasti banyak yang menjawab ingin ke Raudhah atau Taman Surga di dalam bangunan Masjidil Nabawi. Apabila masuk ke dalam Raudhah, berdirilah menghadap ke arah kiblat. Kita dapat melihat di sebelah kiri ada sebuah bangunan berbentuk 4 segi berwarna hijau tua dan bangunan itu dulunya adalah rumah Rasulullah SAW & Siti Aisyah dan di situlah juga terletaknya makam Rasulullah SAW serta para sahabat. Di atasnya terdapat kubah berwarna hijau tua yang menjadi tanda letaknya makam Rasulullah SAW. Kubah ini bisa dilihat dengan jelas dari luar Masjid Nabawi bagian depan.
Lalu bagaimana cara untuk mencapai Raudhah? Karena saya seorang perempuan, maka saya ingin menceritakan cara menuju Raudhah bagi kaum perempuan. Untuk pelengkap informasi, pintu masuk bagi jamaah perempuan dan lelaki berbeda atau dipisah bila ingin memasuki Masjid Nabawi. Hal ini berbeda bila ingin memasuki Masjidil Haram Mekkah tempat Ka’bah berada. Jamaah laki-laki dan perempuan bebas memasuki dari pintu manapun walau saat shalat akan dipisahkan areanya di dalam.
Untuk menuju ke Raudhah, bagi jamaah wanita hanya bisa di waktu-waktu tertentu. Berbeda dengan jamaah pria yang bisa setiap saat memasuki Raudhah. Raudhah ini pada saat jam shalat menjadi area untuk shalat lelaki, sehingga tertutup bagi perempuan. Berdasarkan pengalaman yang saya alami sendiri, waktu kunjungan ke Raudhah bagi perempuan adalah setelah terbit matahari hingga menjelang shalat Dzuhur dan selepas shalat Isya hingga pertengahan malam.
Tidak semua pintu masjid bisa dilewati untuk menuju Raudhah bagi wanita. Kita harus mencari pintu nomor 25 yang berada di area khusus perempuan dan terus saja melangkah masuk menuju tempat imam. Kalau tidak yakin dan takut tersesat, pada jam-jam khusus kunjungan Raudhah, kita akan melihat perempuan dari berbagai bangsa berbondong-bondong ke arah depan. Ikuti saja rombongan itu dan kita akan melihat petugas-petugas wanita yang mengatur jamaah. Ikuti instruksi dari petugas wanita yang berpakaian dan bercadar serba hitam itu. Ada kalanya kita disuruh duduk dan menunggu beberapa saat di karpet, dan ada kalanya kita diminta terus berjalan. Bagi pemakai kursi roda, rombongan akan dipisah dan digabungkan dengan sesama pemakai kursi roda. Tentunya para jamaah ini minimal berdua, satu jamaah duduk di kursi roda dan satu jamaah lagi yang menemani. Bagi pemakai kursi roda tidak perlu kecil hati saat ingin ke Raudhah. Ada antrian khusus dan area shalat bagi pemakai kursi roda di karpet hijau Raudhah di Masjid Nabawi.
Saat saya merasakan berkunjung ke Raudhah untuk pertama kali tahun 2008, situasinya sangat padat. Sulit bisa shalat dan berdoa berlama-lama di sana. Bisa-bisa, kita akan terinjak oleh kaki orang lain kalau diam di tempat terlalu lama. Maka petugas di sana pun mengatur agar kita cukup shalat sunat 2 rakaat saja dan segera beranjak untuk memberikan tempat bagi jamaah lain yang ingin merasakan shalat di karpet hijau Nabawi alias Raudhah ini.
Membayangkan sebegitu padatnya Raudhah, awalnya saya tidak yakin bisa ke sana membawa ibu saya yang kakinya sakit karena osteoarthritis alias radang sendi. Bisa-bisa, ibu saya malah jatuh terdorong oleh jamaah lain yang memang tenaga dan badannya lebih besar dibanding ukuran tubuh orang Indonesia. Untuk alasan itu pula, jamaah dari Asia yang bertubuh kecil dipisahkan dari rombongan jamaah negara lain seperti dari Arab dan Afrika agar saat memasuki Raudhah lebih aman.
Setelah pada kesempatan tahun-tahun berikutnya ke Raudhah dan melihat ternyata jamaah berkursi roda punya jalur khusus, akhirnya pada musim haji tahun 2017 ini saya membawa ibu saya ke sana menggunakan kursi roda. Alhamdulillah, Allah sangat memuliakan ibu saya. Tanpa desak-desakan, tanpa takut terinjak, Ibu saya dan para ibu lainnya bisa shalat bahkan lebih lama dari jamaah umum yang menuju Raudhah. Tipsnya cuma harus sabar mengantri. Saat sedang mengantri, alhamdulillah waktunya bisa diisi sambil membaca Qur’an atau shalat sunat.
Jamaah yang tidak berkursi roda mempunyai ruangan tersendiri untuk antri. Kami dipisah-pisahkan duduknya dan dikelompokkan dengan sesama bangsa Melayu. Saking lamanya antri, beberapa jamaah ada yang menunggu sambil mengaji bahkan ada yang tidur-tiduran. Saking banyaknya jamaah dan tempat di Raudhah yang terbatas, kami harus sabar dalam menunggu giliran.
Walau cukup lama menunggu, pasti rasa kesal langsung hilang dan berubah menjadi rasa haru saat langkah demi langkah kita tiba pada perbatasan karpet berwarna merah dan hijau. Ya, karpet Masjidil Nabawi umumnya berwarna merah dan karpet khusus di bagian Raudhah berwarna hijau. Masya Allah, betapa bahagianya saat kaki kita sudah tiba di atas karpet yang hijau. Rasanya ingin segera bersujud di sana. Eits, jangan tiba-tiba langsung ingin sujud syukur atau shalat di saat awal karpet hijau ya. Nanti kita bisa menghalangi orang lain untuk masuk dan bisa terinjak-injak. Carilah tempat yang cukup aman agak ke dalam walau kondisinya tidak akan leluasa sebebas shalat di mesjid-mesjid yang ada di Indonesia. Asal cukup untuk bersujud, alhamdulillah.
Berbagai keutamaan shalat dan berdoa di Raudhah bisa kita baca dari berbagai sumber yang bisa dicari di Google. Yang pasti, hampir semua muslim yang tiba di Madinah ingin merasakan bersujud di Raudhah.
Oh ya, kembali ke kisah ibu saya di Raudhah, bagaimana keadaan tempat shalat bagi jamaah berkursi roda? Alhamdulillah, ibu-ibu berkursi roda ini begitu dihormati. Saat antrian memasuki Raudhah, para petugas perempuan mengambil alih kursi roda dan memarkirkan para ibu ini dengan rapi. Sekitar 15-20 ibu bergantian bisa shalat dan berdoa di atas kursi rodanya di atas karpet hijau. Para pengantar dipersilakan shalat di bagian belakang kursi roda ini. Luar biasanya, para ibu yang berada di atas kursi roda bisa shalat lebih lama dan tidak perlu berdesakan. Mereka sangat khusyuk shalat berdoa. Para pengantar sendiri harus cukup puas shalat hanya 2 rakaat dan langsung disuruh berdiri agar bisa bergantian dengan pengantar lainnya. Allah menjamu ibu saya sedemikian nikmatnya. Nikmat mana lagi yang hamda dustakan Ya Allah. Sebegitu besar pertolongan-Mu untuk membahagiakan orang tua hamba. Alhamdulillah… alhamdulillah…