Kampanye Rokok Harus Mahal
Ada Apa Dengan Rokok? (AADP)
Saya bersyukur memiliki sosok orang tua, terutama ayah, yang tidak merokok. Karena terbiasa di lingkungan non-perokok, saya sangat terganggu kalau ada yang merokok. Demikian pula dalam menyeleksi calon pendamping hidup. Kalau ada yang mendekati saya dan dia perokok, sudah pasti saya akan pergi jauh-jauh hahaha…
Saya juga punya kisah nyata tentang seorang perokok berstatus bapak. Pekerjaan bapak itu adalah kuli bangunan yang pendapatannya tidak menentu. Kadang punya uang dan sering juga tidak punya penghasilan alias tidak bekerja. Demi mendapatkan kesempatan merokok setiap hari, dia akan berusaha apapun caranya untuk mendapatkan uang Rp.20.000,- agar bisa membeli rokok. Misalnya kalau lagi menganggur, dia akan bekerja serabutan, memancing dan menjual hasil pancingannya, atau apapun asalkan uang rokok itu dia dapatkan. Lalu bagaimana dengan kehidupan dan nafkah anak istrinya? Istrinya sering datang ke rumah saya minta dibantu agar iuran sekolah anaknya bisa dibayar. Belum lagi saat anaknya butuh sepatu, baju, dan lain-lain. Ternyata uang untuk sekolah anak bisa kalah oleh rokok. Untuk rokok bisa berusaha dapat Rp.600.000,- sebulan, tapi untuk anak sudah kewalahan menanggung 50.000 – 100.000/ bulan. Merasa masih miskin, tetapi masih sanggup mengeluarkan biaya besar untuk rokok. Ironis sekali.
Beberapa waktu lalu, dalam acara bincang-bincang Ruang Publik “Rokok Harus Mahal”, tema yang diangkat adalah Rokok Harus Mahal, Capaian SDGs (Sustainable Development Goals), dan Menyelamatkan JKN. Tema ini terkait dengan apa yang saya ceritakan di atas. Yang namanya kemiskinan pasti ada kaitannya dengan SDg’s atau Sustainable Development Goals. Perbincangan tersebut bisa disimak lewat 100 radio jaringan KBR, di Jakarta bisa disimak di Power Radio 89,2 FM dan di Pekan Baru bisa didengarkan di Green Radio. Selain itu, bisa juga menyimak melalui aplikasi KBR Radio di Android dan iOS, serta fan page Kantor Berita Radio KBR.
Serial kampanye “Rokok Harus Mahal” ini bertujuan untuk mengingatkan harga rokok yang murah membuat konsumsi rokok makin tak terkendali, termasuk pada anak-anak dan keluarga miskin.
Pengendalian tembakau tak hanya berperan untuk meningkatkan kesehatan. Pengendalian tembakau dapat mendukung 17 poin dalam Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan 2015-2030, termasuk pada poin pertama, yaitu masalah kemiskinan dalam bentuk apapun. Kelompok masyarakat berpendapatan rendah dapat mengalokasikan uangnya untuk belanja kebutuhan primer yang lebih penting dibanding membeli rokok. Menaikan harga rokok sehingga tak lagi terjangkau oleh kelompok miskin diyakini akan mengurangi prevalansi perokok di kelompok ini.
Dalam bincang-bincang tersebut banyak hal-hal kritis yang dibahas dengan para narasumber yang ada di Studio, yaitu:
● Dr Arum Atmawikarta, MPH,Manager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDGs Bappenas
● Tulus Abadi Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Selain itu juga ada Jalal dari Koalisi bersatu melawan kebohongan Industri rokok. Tanya-jawab yang terjadi seperti tercantum di bawah ini.
Kita akan bertanya dulu ke Pak Arum, posisi kita atau posisi pengendalian tembakau dalam SDGs? Apakah posisinya cukup penting
- Baik mbak Arin, saya informasikan dulu bahwa kemarin di istana wakil presiden telah diluncurkan rencana aksi nasional untuk tujuan rencana pembangunan berkelanjutan Sustainable Development Goals atau SDG’s. dan hampir dari semua stake holder, dari pemerintah maupun non pemerintah hadir.baik itu dari LSM, kemudian dari akademisi, maupun itu dari bisnis, dan kami sangat gembira karena ini upaya bersama untuk melaksanakan SDG’s ini. Nah SDG’s sendiri yang berkaitan dengan isu pengendalian tembakau itu secara jelas sudah merupakan salah satu indikator yang harus di capai, dan ini sudah merupakan kesepakatan dunia, itu bagaimana mengurangi prevalansi merokok, terutama pada penduduk usia di bawah 15 tahun dan 18 tahun, begitu. Itu dengan tegas sekali di situ, dan juga ada kebijakan-kebijakan lain yang berkaitan denagan rokok, itu letaknya pada goals nomor 3. sebenarnya isu tentang rokok dan tembakau itu bukan hanya di situ, tapi itu juga akan mempengaruhi, seperti yang tadi arin katakan, itu akan berkaitan dengan isu nomor 1 yaitu kebijakan tentang kemiskinan, isu nomor 4 tentang pendidikan, isu nomor 2 tentang pangan dan gizi, dan isu-isu lainnya. Jadi hampir semua SDG’s itu memerlukan dukungan yang kuat, bagaimana kita bisa mesejahterakan masyarakat, termasuk salah satunya adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan juga untuk bisa menghasilkan sumber daya yang lebih baik.
Selain dari sisi kesehatan, jika prevalansi perokok di kalangan miskin bisa bisa dikendalikan juga bakal mendukungan capaian SDGs di bidang kemiskinan, bagaimana menjelaskan ini. Kalau kita lihat lingkarannya seperti apa?
- Pertama mungkin kita lihat dari isu rokok dan kemiskinan, yang kita lihat bahwa, dengan misalnya mengalokasikan uang untuk membeli rokok terutama penduduk miskin, itu menyebabkan tingkat pendapatan yang siap untuk dipakai oleh keluarga itu makin menurun, itu yang pertama. Terus yang kedua, yang berkaitan dengan kesehatan, jelas bahwa orang yang merokok itu jelas resiko terhadap kesehatannya itu meningkat. Kemudian dia mudah sakit, dan begitu sakit dia memerlukan pelayanan atau uang yang lebih banyak. Kemudian produktifitas dia akan menurun untuk bekerja, karena memang orang yang perokok itu umumnya tidak sehat. Nah ini merupakan satu siklus tentang terjadi kemiskinan. Jadi dia tidak produktif lagi karena sakit, lebih banyak mengeluarkan pendapatannya, itu merupakan satu siklus kemiskinan.
Ya sekarang saya mau menanyakan satu dua pertanyaan untuk mas jalal. Mas jalal sudah sering mengamati pengendalian tembakau kaitannya SDG’s dan juga pengendalian rokok ini dalam kemiskinan, apa yang anda amati pak Jalal?
- Mungkin pertama-tama yang harus saya bilang bahwa kaitan antara rokok dengan SDG’s, mungkin banyak orang kalau ditanyain itu merujuknya ke SDG 3 ya, maksudnya 3A ya itu tentang kesehatan. Tetapi sebetulnya kalau kita lihat-studi-studi kaitan antara rokok dengan SDG’s itu sebetulnya kita mendapatkan pesan yang sangat jelas dengan bukti yang telah dibeberkan oleh para peneliti. Sebetulnya rokok ini urusannya dengan jauh lebih banyak tujuan dalam SDG’s. saya inget sebuah organisasi terkemuka di Jerman misalnya menayatakan bahwa 11 dari 17 tujuan SDG’s itu sulit atau bahkan mustahil dicapai kalau rokok tidak dikendalikan. Saya sendiri kebetulan melihat bahwa mungkin lebih dari 11 mungkin 13, karena waktu saya melihat studinya, kemudian saya lihat beberapa tujuan lagi juga sangat terkait tapi belum dicantumkan. Nah Indonesia dinyatakan 17 dari 17, seluruhnya begitu. Jadi akan sangat sulit dicapai kalau rokok tidak dikendalikan. Kemudian ini kan SDG’s 1, dan saya mendengar dari narasumber sebelumnya, ini kaitannya dengan siklus kemiskinan atau bahkan siklus pemiskinan, karena kita tahu data 7 tahun terakhir sebetulnya kelompok miskin yang merokok itu proporsinya meningkat. Kalau kita tahu data bahwa sekarang juara dunia pria merokok itu proporsinya ada di Indonesia, karena pria Indonesia dewasa 67 persennya merokok. Nah dari proporsi merokok itu sebetulnya sangat tinggi proporsi orang miskin di situ. Kalau kita lihat buruh, petani, dan nelayan, itu yang paling besar proporsinya jika dibandingkan di antara perokok itu. Nah ini sudah dikonsumsi oleh orang-orang miskin, nah lebih jauh lagi tentu saja yang terjadi kalau mereka meneruskan konsumsinya, mereka bisa sakit, kemudian produktifitasnya menurun, mereka harus mengeluarkan biaya yang tinggi untuk kesehatannya. Lebih jauh lagi mungkin, atau yang pertama-tama bahkan sebelum mereka sakit pun mereka sudah menggeser pengeluaran, dari pengeluaran yang bermakna seperti pendidikan dan kesehatan, nutrisi untuk keluarganya, itu sudah digeser untuk rokok. Jadi sangat terkait erat, gitu antara, kalau kita mau menyelesaikan masalah kemiskinan, kita mau mencapai SDG’s 1, tentu saja rokok itu harus benar-benar dikendalikan.
Mas Jalal terima kasih banyak sudah mau bergabung, selamat melanjutkan aktifitas anda. Tadi ada kajian-kajian yang dilakukan pak Jalal ya mengenai SDG’s ini. Mas Tulus kalau kita ngomong tentang pengeluaran rokok dalam keluarga, anda juga punya penelitian atau observasi mengenai ini, bagaimana sih sebenarnya yang sudah diamati YLKI?
- Saya kira memang apa yang disampaikan oleh dokter Arum dan mas Jalal tadi itu menggambarkan aspek sosiologis yang ada di masyarakat dimana masyarakat menengah bawah khususnya gitu ya sangat gandrung dengan konsumsi rokok. Nah itu terjadi pertama karena keterjangkauan yang cukup tinggi, ya kita di Indonesia masih tergolong yang termurah di dunia, dan itu pun masih dijual secara eceran. Jadi betapa mudah mengakses rokok bagi siapapun di Indonesia, hampir tidak ada pengendalian dari sisi penjualan. Padahal kalau kita lihat dari produk yang ada, rokok ini kan benda yang kena cukai, barang yang dilekati cukai. Nah, cukai ini kan pertama ditanggung oleh konsumen, dibayar oleh konsumen, dan kedua sebagai instrumen pengendalian bagi konsumen yang merokok. Sehingga harusnya dengan barang yang kena cukai ini seharusnya tidak boleh dijual sembarangan, tidak boleh diiklankan. Nah itu anehnya di kita bahwa ini barang kena cukai tapi menjadi barang bebas. Cukai itu kan sinteks, jadu itu pajak dosa. Sehingga kita harus membedakan, mana barang yang kena cukai dan mana barang yang kena pajak. Kalau barang kena pajak itu barang normal, kita bisa membelinya dimana saja, bisa kapan saja. Tapi kalau barang yang kena cukai itu barang abnormal, tapi di Indonesia ini menjadi barang normal. Ini yang menjadikan semua orang sangat familiar dengan rokok dan ini berbahaya sekali terhadap dua komunitas, pertama adalah komunitas anak-anak dan remaja, dan kedua perokok miskin atau rumah tangga miskin. Inilah yang sebenarnya sangat rentan untuk di konsumsi rokoknya.
Sebenarnya apa yang membuat keluarga miskin ini cenderung mengabaikan kebutuhan lain, pendidikan, dan juga gizi, kesehatan, ketika membelanjakan uang rokoknya. Apa mas (Tulus) yang sebenarnya mendasari hal itu?
- Kita tahu bahwa rokok dalam kandungannya kan ada nikotin, nikotin ini kan adiksi. Siapapun yang sudah teradiksi itu, tidak kenal kaya, tidak kenal miskin, sehingga dia akan kencanduan untuk itu. Nah ketika di satu sisi ada adiksi dan ada aspek keterjangkauan bagi mereka itu yang kemudian jadi klop.
Jadi kira-kira harus membuat agar tidak terjangkau, bagitu ya pak Arum?
- Saya kira salah satu varibel yaitu masalah keterjangkauan ya, supaya lebih mendapat perhatian lebih soal itu.
Nah inilah kemudian yang membuat Banyak pihak mendesak agar rokok dibuat tidak terjangkau. Tidak terjangkau artinya dibuat lebih mahal, lebih mahal daripada sekarang. Sekarang kita bersama mas Jojo di Sintang, selamat pagi Pak Jojo?
- Perdebatan soal ini tuh susah, harus ada kontrol dari pabriknya. Karena kalau sudah teradiksi sulit. Kalau anak-anak di sekolah bagaimana mereka tidak mau merokok kalau mereka lihat gurunya juga merokok. Ini tidak bisa dibiarkan
Pak Jurah di Cirebon, selamat pagi Pak Jurah?
- Di tv ada iklan bahaya merokok. Tapi Kalau melihat respon kakak saya yang merokok, saat lihat iklan itu dia tidak ada respon apa-apa, kayak tidak berpengaruh. Bahkan sambil nonton iklan itu sambil merokok. Seolah-olah sudah tau bahaya tapi tetap dilakukan. Kenap itu?
Kita akan mecoba Jawab pak Jojo dan Pak Jurah, silahkan pak Tulus. Mungkin pertanyaan terakhir tadi kaitannya dengan adiksi itu ya.
- Ya memang begitu ya, benar sekali yang yang dikatakan pak Jurah ya, ini adalah karakter ya, kalau perokok yang sudah kecanduan gak akan terpengaruh oelh apapun. Nah iklan itu memang bukan untuk orang yang sudah kecanduan rokok. Jadi iklan itu lebih ditunjukkan kepada kalaangan non merkokok, jangan sampai ada bertumbuh perokok-perokok pemula karena melihat iklan rokok. Nah ini dari survei yang dilakukan oleh banyak pihak di Indonesia, dramatisnya adalah anak-anak sekolah itu 90 persen pernah melihat rokok dari berbagai lini, baik itu di media luar ruang, televisi dan segala macam, sehingga inilah kemudian sasaran utama bagi indutri rokok memang dengan iklan itu adalah untuk perokok-perokok pemula bagi anak-anak maupun remaja, sehingga dia terpapar pesan-pesan dalam iklan rokok itu. Bahkan dari survei itu, mereka sangat hapal dengan jingle-jingle iklan rokok
Baik kita lanjutkan untuk penelepon selanjutnya, ada Pak Bima di Singkawang, selamat pagi.
- Sebetulnya untuk saya itu simple saja, kalau rokok selain bahaya untuk badan. Sebenarnya juga untuk mencegah anaknya merokok, dan sebenarnya mudah jika dimulai dari keluarga. Karena kalau lihat orang tua ngerokok mereka akan tertarik dan ingin coba-coba. Di luar pun guru juga merokok, akhirnya mereka termotivasi. Dari coba-coba awalnya, akhirnya kecanduan.
Jadi harus dimulai dari keluarga. Baik pak, kalau kita menjawab pertanyaan pak Jojo, pak Arum apakah memang kita bisa mengendalikan dari hulunya, dalam hal ini pabriknya, menurut Pak Jojo tadi.
- Iya memang masalah rokok itu kan cukup kompleks, karena ini dalam penyususan kebijakan juga paling tidak ada beberapa bidang yang digarap bersama-sama. Misalnya, katakanlah bidang pertanian, kan selalu ini klainya para petani rokok. Tapi kenyataanya bahwa jumlah petani rokok itu hanya sedikit sebenarnya, itu yang pertama. Yang kedua di bidang perindutrian itu kan lebih banyak impor bahan baku untuk membuat rokok itu kan. Maksudnya kalau alasan rokok merupakan suatu komoditas yang di Indonesia itu, terbantahkan juga begitu. Di bidang kesehatan itu juga jelas, pengaruhnya juga betul, itu juga sudah banyak penelitian. Kemudian di bidang perdagangan juga sama, bahwa skitar 67 persen dari bahan bakunya di impor juga. Kemudian di bidang kesejahteraan juga tadi berkaitan dengan kemiskinan. Jadi artinya dalam menyelesaikan masalah rokok itu memang kebijakan lintas bidang itu kita harus lakukan terus menerus. Jangan sampai nanti satu sektor menyampaikan ini dan satunya lagi tidak di garap. Memang harus sinergi antara satu sama lain. Oleh sebab itu, kebetulan nih di dalam SDG’s yang sedang kita lakukan dan kita juga akan menyusun rencana 5 tahun yang akan datang, RPJM di tengah-tengah itu bagaimana rokok itu ada di salam isu lintas bidang yang harus digarap bersama-sama dengan berbagai sektor tersebut.
Kita ke Aceh sekarang, banyak telepon, semoga kita terjawab juga ya bagaimana kita mendesign rokoknya agar tidak terjangkau tadi. Rokok harus mahal, begitu ya. Kita ke Aceh dulu, ada Reza di Aceh, Selamat pagi,
- Kalau menurut saya, tak hanya cukup mahal, tapi juga hrs dibatasi tempat ngisapnya. Kalau kita lihat aparatur negara di kantor pemerintah mereka juga merokok, kemudian di pengajian, pak Haji juga merokok, kemudian guru, dan di rumah sakit mereka juga merokok. Coba lah buat denda, tak usah sampai jutaan tapi benar-benar dijalankan agar mereka jera juga, kita dapat mencontoh malaysia. Kan kalau di denda terus lama-lama males juga.
Intinya sama saja dengan yang dikatakan pak Arum, semua ini harus bekerja sama. Kalau tadi dicontohkan bagaimana kemudian rokok itu dibatasi oleh KTR ya. Tapi kita tidak bicara KTR, namun itu bisa menjadi masukan. Kalau kita bicara rokok harus mahal, apakah dengan menaikkan harga rokok bisa membantu keluarga miskin untuk mengurangi belanja rokok? Silahkan mas Tulus,
- Iya tentu saja, karena itu kan, dari pengalaman empiric di seluruh dunia, itu rokok memang di jual mahal. Tadi saya katakan di awal bahwa rokok di Indonesia itu adalah rokok paling murah di duni, dan bisa di jual secara eceran, jadi membuatnya sangat accessesible bagi masyarakat untuk membelinya. Nah bagaimana agar rokok mahal, salah satunya adalah dengan cukai. Bisa dikatakan bahwa instrumen cukai itu dibayar konsumen dan itu menjadi tanggung jawab negara untuk menaikkan cukai setinggi mungkin. Nah di kita regulasinya memang di UU cukai itu memang 52 persen dari harga aslinya. Pertama yang harus dilakukan adalah harusnya ada revisi UU cukai agar harganya bisa lebih tinggi dari pada itu. Tapi sekarang cukai yang ada implementasinya baru ada sekitar 38 persen. Jadi masih ada ruang yang sangat cukup untuk level 52 persen sehingga rokok betul-betul mahal dan secara ekstrim tidak tercapai oleh keluarga miskin dan anak-anak.
Kita tersambung dulu dengan pak Eko di Padang yang tadi terputus, silahkan Pak Eko
- Selain rokok mahal 50 ribu, kalau bisa lebih dari 50 rb. Soalnya kalau lihat generasi sekarang tuh dari smp sudah merokok. Kalau gak salah kemarin mau ada design yang di bungkus rokok yang bagus, mengerikan sekali, tapi belum diterbitkan, kalau tidak salah tahun depan. Design seprti itu pada bungkus rokok juga bagus tuh karena gambarnya mengerikan sekali.
Poinnya adalah selain gambar mengerikan tapi juga dibuat lebih mahal, jangan cuma 50 ribu. Kalau dari pak Arum juga melihat, apakah dengan mendesak harga rokok lebih mahal ini akan mengurangi kemiskinan yang tentu saja tujuan akhirnya adalah pencapaian SDG’s, bukan tujuan akhirnya tapi akan nyantol kesana.
- Ya, sebenarnya kajian tentang menaikkan harga rokok itu rasanya tahun lalu sudah hampir goal. Tapi ternyata tidak tembus juga, waktu itu kan ada 50 sampai 55 ribu itu kajian dari itu. Jelas ini bahwa jika harga rokok dinaikkan itu akan mempengaruhi juga sikap dari penduduk miskin untuk lebih mencoba memilih hal-hal yang lebih diperlukan, karena sekarang itu kalau pada keluarga miskin itu untuk rokok itu lebih tinggi dari pada misalnya untuk beras, atau untuk membeli ikan, membeli susu dan sebagainya itu. Saya kira ini kalau harganya dinaikkan, mau tidak mau, dia juga akan merubah sikapnya, pengeluarannya sehingga paling tidak akan mengerem untuk belanja hal itu.
Nomor dua setelah beras menurut BPS. Artinya lebih tinggi dari pada pendidikan, kesehatan dan lainnya. Kita ke Pak Herman di Kalimantan Barat, selamat pagi,
- Masalah tentang rokok ini, menurunkan kemiskinan dan pengendalian rokok. Untuk menaikkan harga rokok dan gambar yang ada pada bungkus rokok itu saya sangat setuju dan mendukung. Kalau bisa harganya ditinggikan lagi harganya agar benar-benar terjangkau.
Kita sekarang ke Karanganyar, selamat pagi, silahkan Pak Teja
- Saya sangat respect dengan tema pembicaraan hari ini. Hal-hal ini sangat di butuhkan di karanganyar karena di sini banyak anak-anak sudah banyak yg merokok. Saya tadi lihat di internet di kesehatan nasional sudah 54,8 persen ya, banyak sekali makan dari itu saya dukung sdg’s untuk kampanye. Hal pertama yang bisa dilakukan adalah dimulai dari pendidikan dan keluarga. Kalau keluarganya baik, bapaknya tidak merokok ya pasti anaknya tidak merokok. Jadi contohnya dari orang tua.
Sekaligus saya bacakan dari Yana di Depok, mengapa katanya banyak kelompok miskin yang merokok? Apa karena edukasi yangkurang? Kemudian dari Ali di Jambi, dari beberapa pekan lalu saya dengarkan tentang harga rokok. Yang disebut murah itu berapa ya? Karena skrg ini ada yg 5000 tapi ada yang 25 ribu. Kemudian Gungun, setuju sih tapi kampanye pabrik rokok cukup kuat. Semoga sukses kampanye rokok harus mahalnya. Okay, silahkan dijawab dulu, hampir sama ya, kita tadi bicara soal angka 50 ribu dan yang disebut murah bener gak? Ada yang 5 ribu (mas Tulus)
- Ya betul sekali, karena di daerah itu banyak sekali merk-merk lokal. Murah di jual karena mereka tanpa cukai, jadi sangat murah. Kalau kita berbicara rokok itu harus mahal dan angka 50 ribu itu bukan dari langit itu sebenarnya kajian dari sebuah survei itu yang dilakukan oleh FKM sebuah lembaga DFKM UI, sebenarnya pertanyaannya sederhana, akan berhenti meroko jika angka diterapkan sampai berapa? Mayoritas akan berhenti merokok ketika harganya 50 ribu rupiah per bungkus. Nah itu presentase tertinggi ketika mereka akan berhenti merokok jika harga rokok 50 ribu, itu saya kira akan menjadi instrumen paling efektif untuk pengendalian rokok di kalangan keluarga miskin.
Pak Arum, apakah angka 50 ribu itu akan menjadi kunci di keluatga miskin, barangkali bisa dilihat dari ketika diskusi-diskusi soal SDG’s.
- Ya memang ini kan kajian tentang harga yang 50 ribu itu para pakar yang tadi disebutkan DFKM UI itu muncul untuk itu. Dan sudah terbukti di banyak negara bahwa instrumen untuk bisa menekan prevalensi merokok itu adalah dengan menaikkan harga tersebut. Ya pada saat ini ya 50, ya termasuk yang akan kita kampanyekan,tapi kedepan akan kita tingkatkan lagi, sehingga peluang untuk, terutama kelompok miskin untuk bisa mengakses rokok itu yang ingin kita tekan terus. Karena terus terang yang paling menderita akibat rokok itu pada kelompok yang miskin tersebut. Misalnya, contohnyalah dalam belanja mingguan pada keluarga miskin itu 22 persennya untuk belanja rokok. Padahal untuk beli beras hanya 19 persen. Iya benar justru bergeser, mereka justru akan mengalokasikan yang keluarga miskim itu untuk beli rokok.
Kita ke Berin di Sintang, selamat pagi,
- Kalau untuk menekan rokok agar berkurang seperti yang pemerintah lakukan itu kurang efektif. Solusi agar konsumen rokok agar berkurang itu harus dari diri sendiri seperti dari sisi religi dsb. Karena sepertinya menaikan harga cukai itu kurang menyentuh.
Memang harus dari berbagai lini, dari pendidikan, dari semuanya harus dilakukan secara bersama. Dan mendesign rokok agar menjadi tidak tercapai adalah salah satu yang bisa dilakukan. Saya akan bacakan sms atau WA yang sudah masuk. Ada Wiwik di Surabaya, maaf lomba blog paling lama berapa lama setelah acara? Syaratnya apa saja? Kalau sudah ikut petisi boleh ikut? Kemudian ada Facebook yang masuk dada dari Wikan Wiratsongko, Selama harga rokok masih bisa dibeli ketengan, masyarakat miskin akan tetap bisa membeli rokok. Ini adalah salah satu poin yang harus kila lakukan ya selain harus mahal, harus ada larangan.
- (Mas Tulus)Karena ketengan atau eceran itu memang hampir hanya di Indonesia, rokok itu bisa dijual ketengan atau eceran, sehingga harga yang tadi sudah kita tetapkan 50 ribu itu bisa rontok lagi karena di jual ketengan. Jadi jika harganya sudah mahal, yaitu 50 ribu, maka harus dilarang dijula ketengan. Akan membuat jadi tidak efektif kalau dijual ketengan.
Sekarang kita ke Pak Eko di sekadau, Kalimantan Barat
- Faktanya rokok sekarang itu harganya banrolnya 25 rb tp dijual 15 rb, 17 rb. Jadi gimana ini? Kan jdnya tidak efektif
Okay, mas Tulus, kita semuanya bisa berpartisipasi dengan ikut menandatangani petisi ya mas
- Ya karena petisi ini menjadi sangat penting debagai sebuah desakan kepada pemerintah dari suara publik, dimana ada aspirasi publik sebenarnya mendukung bahwa rokok itu harus mahal. Ini apa lagi yang kurang dari hal ini, karena ketika publik sudah mendukung, sudah menandatangani petisi, ini kan sebuah kekuatan, sebuah people power ya yang harus didengar pemerintah, bahwa ini juga merupakan kegelisahan publik. Bahwa rokok sudah menimbulkan dampak kegelisahan secara besar atau global, salah satunya dengan harga yang mahal itu. Dan itu pun dengan instrumen itu hanya menyasar di kelompok menengah ke bawah, bukan orang kaya, ya silahkan ya ekstreamnya gitu. Karena kalau sakit ya dia punya uang, ya ini orang miskin untuk beli beras kurang, untuk lauk pauk pun, tapi dia merokok dan kalau sakit entar di subsidi dari pemerintah, ini kan gak adil.
Sudah ada yang menandatangani sekitar 4000 lebih ya dengan target 5000, kalau bisa lebih lebih baik. Kita akan bacakan, tadi pernyataan atau testimoni dari sekadau Kalimantan Barat bahwa angka di banrol itu tidak sesuai. Nanti harus ada pengawasan. Saya bacakan sekaligus, di kupang ada saya dukung, kalau perlu jangan kasih gratis perokok berobat. Kemudian ada Darius di Medan, SDGs dan rokok murah sangat menarik, tapi bukankah kelompok industri atau swasta termasuk mungkin dari rokok juga digandeng sukseskan SGDs? Bagaimana kalau mereka punya program pemberdayaan? Frans di Tomohon, mengapa kalau mahal justru jadi mencegah kemiskinan? Boleh dijelaskan? Sabeth di Manokwari, yang penting selamatkan anak-anak. Kalau mahal, uang saku anak-anak punya tidak cukup beli rokok? Yuni di Semarang, rokok elektrik dilarang saja, isinya membahayakan, dan kalau nanti rokok mahal,tapi rokok elektrik masih ada, akan sia-sia. Kemudian Riris di Jakarta, SDGs terkait rokok ini rujukan utamnya kesehatan atau kemiski an? Bagaimaba kira2 capaian pengentasan kemiskinan aka disumbang dr rokok mahal? Boleh kita dari sisi SDG’s dulu ini pak?
- Ya tadi seperti yang mas Jalal sampaikan, bahwa isu rokok itu bukan hanya terletak pada isu goals nomor 3 yaitu tentang kesehatan, tapi itu akan menyebar ke goals lainnya. Paling tidak itu akan berkaitan dengan satu, goals kemiskinan. Ada goals nomor 2, diketahui bahwa keluarga yang merokok itu anak-anaknya menderita kekurangan gizi. Terus goals nomor 3 mengenai pendidikan, terus nomor 5. artinya SDG;s itu memang merupakan sarana yang terbaik masalah rokok yang sudah luar biasa di negara kita ini, sebagai wadah, dan semua juga mendukung hal itu. Jadi menurut saya ini upayanya harus digarap secara serius, baik itu dari segi desakan masyarakat, terus dari regulasinya, ini juga penghasil regulasi, peraturan, ini juga kita harus berjuang untuk hal itu. Kemudian di kebijakan-kebijakan, di kemetrian-kementrian juga kita harus berjuang.
Kita ke penelepon terakhir, Pak kristiawan di Purwakarta,
kendalanya apa aja sehingga belum bisa terwujud? Selain karena kekuatan dalam tanda kutip ekonomi dari para produsen atau barangkali faktor politis sebagai sumber cukai kita yang besar.
Ya silahkan Mas Tulus
- Cukai sebagai sumber pemasukan, ketika kita mendorong harga rokok menjadi mahal, itu kan pemerintah justru memiliki potensi untuk mendapatkan cukai yang semakin besar lagi, karena indonesia itu kementerian keuangannya itu masih sangat sedikit, pendapatan cukai dari rokok. Kalau sekarang 152 triliun, kita potensinya 250 triiun lebih dari harga cukai, kenapa? Karena cukai terlalu rendah. Oleh karena itu, ketika mendorong harga rokok yang lebih mahal dengan cukai yang lebi tinggi, itu justru efek positifnya adalah pemerintah lebih banyak mendapatkan cukai lebih tinggid ari rokok dan masyrakat lebih sehat. Karena kemudian dengan harga mahal, karena karakter konsumen kita secara umum sensitif harga. Kalau ada harga yang mahal maka mereka akan berpikir. Dan menguranginya apalagi untuk rumah tangga miskin. Persyaratannya adalah kalau kita bicara keterjangkauan yaitu ketika mahal, aspek keterjangkauannya menjadi terganggu. Dengan syarat tidak boleh dijual eceran
Makanya memang harus mahal dan harus ada pengawasan. Saya akan bacakan sms-sms yang sudah masuk. Hadi di Padang, harga rokok mahal itu buat merek terkenal saja atau rokok indstri kecil juga? kemudian Basri di Jambi, tanda tangan petisinya disebarkan lagi. Saya sudah. kemudian Findadi Bekasi, keuntungan dr rokok mahal nanti buat pabrik atau buat negara dalam bentum cukai? Kemudian Suprianto di Jakarta , Kalau rokok mahal, bagaimana antisipasinya dengan rokok ilegal? Titik di Bekasi, Apa betul rokok tidak bisa diekspor? Maksudnya negara2 tujuan menolak?
- Kita jawab ya
Rokok ilegal sampai detik ini masih ada, dan itu tugas pemerintah untuk melakukan reinforcement, karena ketika rokok ilegal tanpa banrol, tanpa cukai, kerugiannay double. Negara tidak mendapatkan pendapatannya dari cukai, dan masyarakat jadi lebih murah mendapatkannya karena tidak ada cukai yang harus dibayarkan. Berarti ditanyakan bahwa cukai itu sebenarnya yang menerima negara, dilkelola negara
Itu yang nanti kira-kita nanti harga yang sampai masyarakay tidak terjangkau tapi di sisi lain dengan harga itu kita mendapatkan cukai yang lebih besar lagi. Closing statement, apa yang harus kita lakukan pak Arum?
- Pertama, jelas ini harus digaungkan terus ya karena memang rakyat sudah menuntut hal itu. Kita ingin melindungi masyarakat kita, terutama masyarakat miskin, supaya mereka sehat, lebih produktif lebih sejahtera. Jangan sampai uang yang begitu sulit didapatkannya itu, habis untuk rokok. Dan sebagai komoditas yang kena cukai, sekali lagi sudah sewajarnya rokok itu dijual mahal, harus. Karena itu filosofi cukai sebagain instrumen pengendalian. Instrumen yang paling efektif adalah dengan harga, dengan rokok yang mahal itu.
Demikianlah diskusi bertema Rokok Itu Mahal. Semoga uraian ini bisa bermanfaat.