Halal Journey In Europe For Adinda Azzahra Tour

Surat Al Mulk 15 :
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”

Ternyata, cukup banyak ayat Al Qur’an yang mengajak kita untuk bepergian mencari ilmu dan menikmati rejeki dengan bertualang di bumi ciptaan Allah ini. Salah satunya adalah dalam Surat Al Mulk ayat 15 di atas. Belakangan ini juga mulai populer fenomena Wisata Halal di berbagai belahan dunia. Apa itu wisata halal? Wisata halal buat saya adalah sebuah pengalaman menjelajahi berbagai belahan bumi dengan tetap mengkonsumsi makanan yang halal, tetap bisa menjalankan shalat 5 waktu, dan jika memungkinkan juga mengunjungi mesjid di berbagai tempat di dunia.

Perjalanan Memakai Kuwait Air Ke Inggris

Eropa memiliki daya pikat yang sangat tinggi sebagai tempat wisata internasional. Karena keindahan alam dan bangunannya yang bersejarah, Eropa adalah sebuah daratan yang membuat banyak orang berangan-angan untuk mengunjunginya. Apakah masyarakat di Eropa toleran terhadap umat muslim? Alhamdulillah hal itu sudah saya buktikan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan selama petualangan 3 bulan berada di Eropa beberapa tahun lalu.

Pada bulan Februari 2015, saya meninggalkan kota kelahiran saya, Bandung, untuk pertama kalinya menuju ke benua baru, Eropa. Seperti apakah Eropa? Wah, tidak terbayang sebelumnya. Kesempatan itu datang bersamaan dengan saat saya dan suami mengambil kuliah Magister jurusan Bisnis di ITB. Kampus kami bekerja sama dengan kampus Goldsmith University di Kota London. Kami diberi kesempatan untuk mengambil 1 semester kuliah di Goldsmith. Sebuah kesempatan langka yang akhirnya kami coba.

Makanan dari maskapai Kuwait Air yang pasti halal

Saat berangkat dari Bandung, kota pertama yang kami tuju adalah London di Inggris alias UK. Untuk menuju ke sana, kami memilih maskapai Kuwait Air yang berangkat dari Kuala Lumpur. Bandung-Kuala Lumpur-Kuwait-London. Perjalanan yang lumayan panjang dan melelahkan tapi sangat berkesan. Petualangan  yang saya jalani bersama jodoh halal ini adalah kesempatan pertama saya menginjak benua Eropa yang sohor tersebut. Jauh sebelum kami menikah, suami saya pernah berkunjung ke Eropa bersama keluarganya. Saya, yang masih “bau kencur” dalam urusan traveling ke Eropa hanya berbekal modal nekad saja.

Selama kurang lebih 2 bulan, saya mengikuti perkuliahan di Goldsmith University London. Itu terhitung perkuliahan yang setara dengan 1 semester di Indonesia. Di awal kedatangan, saya dan suami tinggal di hotel backpacker yang sekamar isinya beramai-ramai. Setelah beberapa hari, kami mencari kamar yang bisa disewa bulanan atau mingguan. Lewat iklan online, kami menyusuri beberapa rumah dan akhirnya menemukan tempat yang paling cocok di rumah seorang Jerman. Sebenarnya, kamar tersebut hanya untuk 1 orang saja. Tapi kami minta ijin untuk dapat menyewa bareng, lagi pula tempat tidur single buat orang bule memang cukup besar untuk bisa dipakai kami berdua. Harga sewa kamar di sana kalau dihitung pakai rupiah, sewa sebuah kamar selama sebulan di London masih bisa dipakai untuk bayar kontrak 1 rumah selama setahun di Bandung hehe… Muahal tapi tidak semahal di hotel tentunya.

Sup jagung dengan campuran seafood yang lezat (kata saya sebagai kokinya hehe…)
Sosis halal dan kentang ditumis kesukaan suami saya

Selama di London, untuk mengirit dan menjaga agar bisa makan makanan yang halal, saya memasak sendiri di tempat kost. Belanjanya kadang di pasar dan kadang di supermarket. Kebetulan tidak jauh dari tempat saya tinggal, di daerah Peckham London cukup banyak kawasan yang dihuni oleh muslim. Di supermarket juga tersedia rak-rak berisi bahan makanan halal, mulai daging ayam, daging sapi, sosis, dan lain-lain. Bahkan di daerah China Town di tengah kota London, ada toko bahan makanan khas Asia yang menjual segala macam bumbu dan makanan dari Indonesia.

Pecel ala London dan tempe buatan Belanda yang tersedia di toko Asia

Kami juga sempat berkelana ke kota-kota lain di Inggris, seperti Leeds, York, Bath, Liverpool, Brighton, Manchester, dan lain-lain hingga yang terjauh, Edinburgh di Scotlandia. Terus terang, berkelana dengan status mahasiswa, kami jadi punya “fasilitas” istimewa yaitu banyaknya bantuan tempat menginap gratis di apartemen atau kamar yang disewa oleh para mahasiswa Indonesia di UK. Masya Allah, mereka baik banget. Kami kadang baru kenal di udara lewat facebook atau dikenalkan teman, tapi uluran tangan menyediakan tempat menginap saja sudah merupakan berkah tak terhingga untuk kami.

Bersama kenalan baru yang baik hati memberi tumpangan tempat menginap di Edinburgh, Scotlandia
Gerai makanan halal khas Turki di Spitalfield Market London yang hanya buka di Hari Minggu
Gerai makanan halal di Spitalfield Market London yang hanya buka di Hari Minggu
Pasar favorit saya adalah Borough Market di pusat kota London. Masuk ke pasar ini berasa sedang wisata.

Setelah 2 bulan lamanya menjadi penghuni London dan seputar Inggris, saya dan suami nekad coba-coba menjelajahi sebagian negara di Eropa Barat dan Eropa Timur selama hampir 1 bulan, tepatnya 26 hari. Sesaat setelah mengajukan visa UK dan disetujui dengan proses yang alot, kami juga mengajukan visa Schengen dalam waktu yang mepet selagi belum berangkat dari Indonesia. Berhubung mepet, saya meminta bantuan biro jasa tour & travel di Bandung.

Kalau bukan karena urusan sekolah kembali di usia yang sudah tidak belia ini, entah kapan saya bisa menginjak tempat impian banyak orang ini. Setiap melihat biaya tour ke Eropa, saya cuma bisa bergumam, hmmm mahal amat ya… Tiba-tiba Allah membelokkan langkah kaki saya ke berbagai tempat ini, tentunya jadi pengalaman tak terlupakan sepanjang hidup saya. Saya pernah berbagi taxi untuk “mengirit” dari Bandara Roma, Italy menuju ke hotel dengan sepasang turis bule yang ingin berkunjung ke Italy juga. Mereka tertawa mendengar petualangan kami sambil berkata, “Mungkin kamu tidak akan pernah mendapatkan kesempatan lagi untuk bertualang seperti ini.”

Begitulah, dengan modal nekad, tanpa dipersiapkan jauh-jauh hari untuk memilih negara dan tempat yang akan dikunjungi, kami berdua melangkahkan kaki begitu saja dengan mental harus siap menghadapi berbagai kemungkinan. Kami tidak menghitung berapa biaya yang harus kami keluarkan. Bukan ngerasa kebanyakan uang juga sih, tapi karena saya agak tidak apdet masalah trip ke Eropa dan cuma mengandalkan naluri saja. Asli masih culun banget deh urusan destinasi-destinasi di Eropa.

Hasil dari kenekatan kami itu, sejak berangkat dari London-Inggris, kami sempat singgah ke Brussel-Belgia, Paris-Perancis, Denhaag + Amsterdam + Volendam + Zaanse Schans + Roterdam di Holland alias Belanda, Cologne + Bonn + Berlin di Jerman, Vienna di Austria, Prague di Cekoslovakia, Venezia + Roma di Italy, serta salah satu negara terkecil di dunia yaitu Vatican. Ini adalah petualangan paling gila yang pernah saya lakukan, ke belasan kota di beberapa negara secara non-stop.

Kondisinya akan sangat berbeda kalau berangkat melalui biro tour khusus. Pasti akan tertata dengan rapi dan tujuan yang jelas kalau berangkat dalam rombongan tour, tidak seperti itinerary kami yang menclok ke sana kemari. Yah, namanya juga cuma modal nekad. Sekarang jadi ada salah satu kenangan indah yang tidak terlupakan tapi bukan untuk ditiru tentunya hahaha…

Apa tantangan paling berat dalam petualangan ini? Pastinya berkaitan dengan kebutuhan perut. Mencari tempat menginap sih hampir tanpa kendala. Kadang menumpang di rumah teman, kadang sewa apartemen, kadang menginap di hotel. Kalau makanan, tentu kami harus pilih-pilih apa makanan yang mendekati halal (karena tidak ada sertifikasi khusus), seperti roti, beras (di beberapa kota kami masak nasi sendiri), dengan lauk yang kami bekal khusus kemana-mana dan beli di toko atau minimarket khusus bahan makanan Asia. Di Eropa, ada beberapa toko Asia seperti itu, terutama di Belanda. Jadi di toko seperti itu, kami bisa membeli mie instan, sarden, dan makanan-makanan lain yang berasal dari Indonesia.

Belanda adalah negara yang paling lama kami jelajahi. Selain kota-kotanya sangat bersih dan cantik, transportasi umumnya juga sangat nyaman serta wifi kencang di berbagai lokasi. Jangankan di stasiun kereta, di setiap kereta pun ada wifi khusus yang mudah diakses. Tambahan hal menarik lainnya adalah kemudahan dalam mencari bahan makanan dan makanan siap makan bercita-rasa Indonesia. Nah, komplit kan?

Pempek buatan rumah makan di kota Den Haag Belanda
Salah satu rumah makan khas Indonesia di Den Haag, Belanda
Roti panas khas Prague, Ceko, yang disebut Trdelnik

Selama bertualang di Eropa tersebut, saya tidak terlalu sering membeli makanan di restoran, kecuali dalam kondisi terpaksa. Selain mahal, hati sering ragu akan kehalalannya, sehingga saya sering memasak makanan saat menginap di rumah teman atau menyewa apartemen. Di tempat-tempat tersebut, biasanya memang tersedia alat masak. Jika dibandingkan dengan mengikuti tour halal yang disediakan berbagai travel, seperti Adinda Azzahra Tour & Travel, http://adindaazzahra.com, pastinya akan lebih nyaman dan terjamin ikut program wisata yang ditawarkan. Selain waktu tidak terbuang untuk mencari makanan karena biasanya sudah disediakan di restoran-restoran partner yang menyediakan makanan halal, juga ada guide yang mengingatkan tentang waktu shalat dan kunjungan ke mesjid yang ada di suatu negara atau kota. Walau demikian, mencoba bertualang sendiri dan hidup bagai warga setempat dengan memasak makanan sendiri juga punya kenangan yang sangat berkesan. Kamu sendiri, milih yang mana? 😊

Perjalananku Ke Masjidil Aqso Palestina

Bismillah…
Saya posting ini untuk menjawab rasa penasaran beberapa teman yang ingin mengetahui tentang trip saya ke Palestina, Masjidil Aqso, dan tempat-tempat lain di sana. Di postingan kali ini, sengaja saya ingin bercerita sedikit tentang bagaimana saya menuju Masjidil Aqso dan Kota Jerusalem.

Dahulu, mendengar kata Jerusalem dan Betlehem, tidak pernah sedikitpun terlintas di benak saya bahwa kota-kota ini adalah tempat yang penting bagi umat Islam. Saya sering mendengar kalau umat Kristen banyak yang mengunjungi kota-kota ini sebagai bagian dari wisata rohani mereka. Belakangan, saya semakin sering mendengar tentang Aqso. Di mana itu? Saya tidak terlalu memperhatikan. Yang pasti, sebegitu terkesimanya saya saat melihat tayangan video seorang teman yang menggambarkan tentang liku-liku jalan berbatu menuju Aqso. Wah…rekaman itu sangat berbekas di benak saya.

Sejak itu, saya niatkan ingin berangkat ke Aqso. Saya tunggu dan tunggu, kapan ada teman yang posting tentang Aqso. Eh, tiba-tiba seorang teman FB mengabarkan bahwa dia baru pesan tiket dari Kuala Lumpur, Malaysia ke Amman, Yordania lalu pulang dari Cairo, Mesir ke KL lagi. Langsung deh kepo dan ikutan pesan tiket juga untuk keberangkatan Februari 2018 pakai Saudia Airline. Udah, gitu aja. Selanjutnya saya belum tahu mau bagaimana. Pokoknya udah punya tiket, insya Allah niat menuju Aqso sudah mantap.

40 hari menjelang berangkat, akhirnya sudah fix ada sekitar 40 orang yg sudah membeli tiket dan kami secara kolektif dibantu oleh salah satu biro tour mengajukan visa Israel. Berbeda dengan pengajuan visa negara lain yang memerlukan paspor, pengajuan visa Israel ini hanya melalui email. Jadi buku paspor tetap kita pegang dan bisa kita pakai kemana-mana sebelumnya. Sekitar 3-5 hari sebelum berangkat, muncul pemberitahuan bahwa visa saya, suami, dan anak disetujui tapi ada 3 anggota rombongan yang visanya ditolak dan memutuskan batal berangkat.

Singkat cerita, tibalah saya di kota Amman, Yordania atau Jordan dan menginap selama 3 malam di sini sebelum memasuki wilayah Israel. Suka tidak suka, untuk menuju Palestina memang harus melalui imigrasi atau border Israel dulu sehingga kita membutuhkan visa dari mereka. Pagi jam 7, kami berangkat dari hotel di kota Amman menuju border imigrasi Israel yang terdekat, yaitu border Allenby. Sepanjang perjalanan di bis, tour guide dari Yordania beberapa kali memperingatkan kami agar tidak mengambil foto-foto saat sudah memasuki wilayah border, walaupun hanya memfoto jalanan atau sungai di sekitarnya dari dalam bis. Jangan sampai ada masalah yang membuat kami bisa ditolak masuk ke Israel, katanya. Ngomong-ngomong, supir dan guide di bis kami belum pernah ke Aqso lho… Buat mereka, menuju ke Aqso sangat sulit. Kalaupun bisa masuk wilayah Israel, ada kemungkinan mereka tidak dapat keluar lagi dan kembali ke negaranya. Di sini saya merasa beruntung sekali, walau jauh dan harus bersusah payah, ternyata saya pernah menyentuhkan dahi saya di lantai Masjid Al Aqsha.

Alhamdulillah kami semua lolos walau sempat deg-degan karena saya, suami, dan seorang teman kena random. Paspor sempat ditahan dan ditanya-tanya lebih lanjut sebelum akhirnya kami dinyatakan lolos dan boleh masuk ke wilayah Israel. Paspor kami tidak dicap dan memang saya juga akan menolak kalau dicap, tapi kami diberikan penggantinya berupa kartu yang diprint dan ada foto serta data kami.

Kota pertama yang kami singgahi adalah kota Jericho, kota tertua di dunia. Di kota ini hanya sebentar saja mampir ke toko souvenir yang menjual minyak zaitun dan lain-lain. Selanjutnya kami mengejar waktu ke Jerusalem agar bisa shalat Jumat di Masjidil Aqso. Jaraknya kalau tanpa antri di imigrasi dari kota Amman Yordania hanya 2 jam saja kira-kira. Kayak jarak dari Bandung-Jakarta tanpa macet ya?

Pertama melihat kota Jerusalem, saya terharu dan kagum. Pemandangan yang saya lihat dari jendela sungguh luar biasa. Seperti kota-kota di Eropa. Cantik sekali. Pas bis berhenti di dekat sebuah benteng, yang katanya kami sudah sampai, saya seperti diajak kembali ke masa lalu. Jaman kerajaan dalam negeri dongeng yang bentengnya seperti benteng Romawi. Keren amat, dalam hati saya. Lalu di mana masjidnya?

Kami pun menyusuri gang di dalam benteng. Ternyata, di dalam benteng itu terdapat sebuah kota yang dibangun dari batu. Rumahnya dari batu, jalannya dari batu. Inilah kota #BaitulMaqdis atau #JerusalemLama. Konon tidak sejengkal tanahpun di kota ini yang tidak dipakai beribadah oleh para Nabi. Di sana ada kios-kios kecil yang berjualan aneka kebutuhan, anak-anak yang bermain, orang dewasa yang berkegiatan, dan lain-lain. Kami dibantu oleh guide menyusuri jalan berbatu ini. Mungkin kami berjalan lebih dari 0,5 km. Jalanan di sini berundak-undak, ada tangga-tangga dan ada jalan yang tidak bertangga. Lebarnya paling 1-3 meter. Untuk yang memakai kursi roda memang agak kesulitan melewati jalan ini, walau ada juga yang bisa melewatinya. Menjelang shalat Jumat itu, suasana sangat ramai orang yang menuju mesjid.

Alhamdulillah, kami bisa shalat Jumat di sana. Yang unik, setelah shalat Jumat, Imam langsung menyambung kembali dengan shalat Ashar jama taqdim yang di-qashar. Jadi shalat 2 rakaat untuk Ashar setelah selesai shalat Jumat yang dilakukan oleh Imam Besar dan para jamaah. Imam utama memimpin shalat dari Mesjid Al Aqsha berkubah hitam (Kubah Qibli) bersama dengan jamaah pria di dalamnya. Jamaah wanita shalat di Mesjid Al Aqsha dengan Kubah Emas (Kubah Asshakrah). Di dalam kedua mesjid terbesar ini, jamaah sangat penuh dan sebagian besar shalat di pelataran batu serta halaman rumput yang penuh pohon zaitun. Tidak nampak Al Aqsha yang sepi pada saat shalat Jumat ini. Alhamdulillah. Beda dengan di waktu shalat lainnya. Mesjid ini sangat sepi.

Yang tidak ada di mesjid lainnya adalah tentara bersenjata lengkap dan besar-besar yang menjaga pintu masuk mesjid. Wih…sempet bikin kaget nih. Setiap pengunjung pun dicegat dengan pertanyaan.
“Andonesi? (Indonesia)”, tanya tentara Israel.
“Yes!”, jawab saya dan langsung dipersilakan masuk. Suami saya dicegat beberapa kali saat memasuki wilayah gerbang masjid ini. Benar-benar ketat, seperti memasuki imigrasi yang isi tasnya pun harus diperlihatkan.

Silakan menyimak foto-foto dan video berikut ya… Semoga panggilan dari Al Aqsha sampai juga buat siapapun yang membaca kisah ini ya… 😊