Rumah Teduh Sahabat Iin Bandung

Pasien Di Rumah Teduh

Perkenalan dengan Rumah Teduh Sahabat Iin berawal dari iseng-iseng kepo melalui instagram saya tentang anak-anak berkebutuhan khusus, seperti anak dengan kelainan kromosom, sakit yang langka, dll. Entah bagaimana, akhirnya gambaran-gambaran anak-anak itu sering muncul di IG. Sering saya simak dan saya ikuti ceritanya. Sampai pada suatu hari, muncul video tentang seorang remaja yang menderita kanker dan sedang kesakitan. Ternyata remaja tersebut menginap di Rumah Teduh. Dan saya follow akun Rumah Teduh tersebut sehingga makin banyak gambaran yang saya peroleh tentang kondisi di sana.

Sempat terbersit ingin mampir ke Rumah Teduh, tapi pada saat itu saya disibukkan oleh kegiatan menunggui orang tua di rumah sakit yang juga sedang menderita kanker paru-paru. Keinginan berkunjung pun saya simpan hingga nanti ada kesempatan yang entah kapan.

Ketika akhirnya ayah saya meninggal, kami mengumpulkan beberapa barang yang diantaranya adalah obat-obatan almarhum yang pastinya tidak dapat digunakan lagi. Ada obat kanker, obat penahan sakit, dll. Obat-obatan itu akhirnya saya putuskan untuk diberikan ke Rumah Teduh. Jadilah saya dan Teh Iin, pengurus Rumah Teduh janjian bertemu di lokasi. Lokasinya tidak jauh dari Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.

Saat itu, saya baru paham bahwa Rumah Teduh Sahabat Iin berkonsep sebagai rumah singgah. Ada beberapa rumah yang dikontrak dan dikelola oleh Yayasan Rumah Teduh untuk menampung pasien RSHS yang belum kebagian kamar atau sedang masa kontrol atau sedang menjalani uji laboratorium untuk memastikan penyakit mereka. Para pasien ini biasanya belum memperoleh kamar rawat khusus di RSHS. Seluruh pasien yang ditampung di Rumah Teduh ini adalah pasien BPJS kelas 3 yang berasal dari daerah-daerah se-Jawa Barat di luar kota Bandung. Ada yang berasal dari Garut, Purwakarta, Indramayu, Majalengka, dan lain-lain.

Salah Satu Rumah Teduh Sahabat Iin

Jumlah Rumah Teduh yang berada dekat RSHS adalah sebanyak 6 unit rumah, yang terdiri dari Rumah Teduh 1, 2, hingga 6. Rumah-rumah ini berada di dalam gang yang kecil. Yang mengejutkan adalah biaya sewa rumah per tahunnya bisa dibilang mahal. Harganya mencapai Rp.55 juta/ tahun, padahal rumahnya tidak ada yang terlalu besar, namanya juga di gang kecil. Sebelum Rumah Teduh ini ada, pasien dan keluarganya terpaksa harus menyewa kamar seharga Rp. 1-1,5 juta/ bulan. Pasti biaya itu sangat memberatkan karena mereka adalah pasien yang berekonomi lemah. Apalagi, pasien yang dirujuk ke RSHS dari daerah biasanya yang kondisinya sudah parah dan tidak bisa lagi ditangani oleh rumah sakit setempat. Saat menunggu giliran pemeriksaan laboratorium di RSHS yang bisa memakan waktu berbulan-bulan, tidak mudah bolak-balik ke kampung bagi para pasien yang sakit parah ini. Bisa karena faktor biaya, bisa pula karena faktor stamina.

Hadirnya Rumah Teduh benar-benar menjadi solusi bagi para dhuafa yang papa ini. Mereka akhirnya punya tempat berteduh, tanpa perlu menyewa lagi atau terlunta-lunta di lorong rumah sakit. Demikian mulianya hati Teh Iin dan Kang Toni yang menjadi pengurus Rumah Teduh. Di saat kita lebih nyaman memikirkan diri sendiri, mereka malah memikirkan orang lain. Tidak hanya menyediakan tempat saja, mereka berdua juga harus siap lebih lelah lagi kalau ada masalah lain yang menimpa pasien, seperti tidak ada keluarga yang mau mengurus, pasien yang sudah mengeluh sangat kesakitan padahal giliran pengobatan di RSHS masih lama, tidak punya biaya untuk makan, dan sebagainya.

Kenapa dinamakan Rumah Teduh Sahabat Iin? Menurut Teh Iin, sang pendiri yang bernama lengkap Iraningsih Achsien, Rumah Teduh ini bisa diwujudkan berkat dukungan dari sahabat-sahabatnya di Facebook. Saat Teh Iin menceritakan hal apapun yang berkaitan dengan kebutuhan Rumah Teduh di Facebook, para sahabat beliau ikut berperan menjadi donatur hingga akhirnya rumah singgah ini semakin banyak dan semakin banyak yang tertampung juga.  Jadi nama tersebut dipilih karena menurut Teh Iin pemiliknya adalah sahabat-sahabat beliau semua.

Untuk saat ini, Rumah Teduh kebanyakan menampung pasien yang memiliki penyakit kanker. Tapi ada pula beberapa pasien di luar kanker yang turut ditampung di sini, asalkan bukan penyakit menular. Dalam satu rumah, pasien yang bisa ditampung sebanyak 10-15 orang. Jumlah ini belum termasuk keluarganya. Bisa dihitung, betapa banyak kaum dhuafa yang saat ini bisa terbantu oleh keberadaan Rumah Teduh.

Keseharian Penghuni Rumah Teduh Mondar-Mandir Ke RSHS

Jadi, apa yang bisa kita perbuat untuk membantu mereka di Rumah Teduh? Selain doa tentunya, kita bisa berpartisipasi menjadi donatur dan relawan. Saat ini, Rumah Teduh akan bertambah menjadi Rumah Teduh 7. Biaya operasional mengelola 7 rumah ini pastinya tidak kecil. Untuk kontrak rumah saja setiap tahunnya membutuhkan biaya di atas Rp. 350.000.000,- yang disumbangkan oleh para donatur dan lembaga zakat. Belum lagi biaya-biaya lain seperti bantuan pengobatan, makanan, transportasi, sewa ambulance, dan lain-lain. Alhamdulillah, saat ini Rumah Teduh sudah memiliki ambulance sendiri yang berasal dari waqaf/ hibah salah seorang donatur. Walau ke depannya akan berkurang biaya untuk sewa mobil, tapi operasional ambulance ini nantinya juga akan dibiayai oleh kas Rumah Teduh.

 

Untuk yang ingin berpartisipasi memberikan donasi, bisa menyalurkannya ke Rekening BCA 8100148596 atas nama IRANINGSIH.

Apabila memerlukan informasi lainnya bisa menghubungi nomor HP Kang Toni +6281221187707 atau Teh Iin +62811224937.

Instagram @rumah_teduh_sahabat_iin

Buat yang memiliki akun Instagram, silakan mengikuti kegiatan Rumah Teduh Sahabat Iin ini dengan follow @rumah_teduh_sahabat_iin

Cara Menuju Raudhah Bagi Wanita Dan Jamaah Berkursi Roda Di Mesjid Nabawi

Kubah Hijau Penanda Letak Makam Rasulullah Terlihat Dari Kejauhan

Apa tempat yang paling dituju saat jamaah haji atau umroh datang ke Madinah? Pasti banyak yang menjawab ingin ke Raudhah atau Taman Surga di dalam bangunan Masjidil Nabawi. Apabila masuk ke dalam Raudhah, berdirilah menghadap ke arah kiblat. Kita dapat melihat di sebelah kiri ada sebuah bangunan berbentuk 4 segi berwarna hijau tua dan bangunan itu dulunya adalah rumah Rasulullah SAW & Siti Aisyah dan di situlah juga terletaknya makam Rasulullah SAW serta para sahabat. Di atasnya terdapat kubah berwarna hijau tua yang menjadi tanda letaknya makam Rasulullah SAW. Kubah ini bisa dilihat dengan jelas dari luar Masjid Nabawi bagian depan.

Lalu bagaimana cara untuk mencapai Raudhah? Karena saya seorang perempuan, maka saya ingin menceritakan cara menuju Raudhah bagi kaum perempuan. Untuk pelengkap informasi, pintu masuk bagi jamaah perempuan dan lelaki berbeda atau dipisah bila ingin memasuki Masjid Nabawi. Hal ini berbeda bila ingin memasuki Masjidil Haram Mekkah tempat Ka’bah berada. Jamaah laki-laki dan perempuan bebas memasuki dari pintu manapun walau saat shalat akan dipisahkan areanya di dalam.

Untuk menuju ke Raudhah, bagi jamaah wanita hanya bisa di waktu-waktu tertentu. Berbeda dengan jamaah pria yang bisa setiap saat memasuki Raudhah. Raudhah ini pada saat jam shalat menjadi area untuk shalat lelaki, sehingga tertutup bagi perempuan. Berdasarkan pengalaman yang saya alami sendiri, waktu kunjungan ke Raudhah bagi perempuan adalah setelah terbit matahari hingga menjelang shalat Dzuhur dan selepas shalat Isya hingga pertengahan malam.

Pintu Masjid Nabawi Nomor 25 Tempat Awal Memasuki Raudhah Bagi Jamaah Perempuan

Tidak semua pintu masjid bisa dilewati untuk menuju Raudhah bagi wanita. Kita harus mencari pintu nomor 25 yang berada di area khusus perempuan dan terus saja melangkah masuk menuju tempat imam. Kalau tidak yakin dan takut tersesat, pada jam-jam khusus kunjungan Raudhah, kita akan melihat perempuan dari berbagai bangsa berbondong-bondong ke arah depan. Ikuti saja rombongan itu dan kita akan melihat petugas-petugas wanita yang mengatur jamaah. Ikuti instruksi dari petugas wanita yang berpakaian dan bercadar serba hitam itu. Ada kalanya kita disuruh duduk dan menunggu beberapa saat di karpet, dan ada kalanya kita diminta terus berjalan. Bagi pemakai kursi roda, rombongan akan dipisah dan digabungkan dengan sesama pemakai kursi roda. Tentunya para jamaah ini minimal berdua, satu jamaah duduk di kursi roda dan satu jamaah lagi yang menemani. Bagi pemakai kursi roda tidak perlu kecil hati saat ingin ke Raudhah. Ada antrian khusus dan area shalat bagi pemakai kursi roda di karpet hijau Raudhah di Masjid Nabawi.

Antrian Khusus Jamaah Berkursi Roda Yang Ingin Menuju Raudhah

Saat saya merasakan berkunjung ke Raudhah untuk pertama kali tahun 2008, situasinya sangat padat. Sulit bisa shalat dan berdoa berlama-lama di sana. Bisa-bisa, kita akan terinjak oleh kaki orang lain kalau diam di tempat terlalu lama. Maka petugas di sana pun mengatur agar kita cukup shalat sunat 2 rakaat saja dan segera beranjak untuk memberikan tempat bagi jamaah lain yang ingin merasakan shalat di karpet hijau Nabawi alias Raudhah ini.

Membayangkan sebegitu padatnya Raudhah, awalnya saya tidak yakin bisa ke sana membawa ibu saya yang kakinya sakit karena osteoarthritis alias radang sendi. Bisa-bisa, ibu saya malah jatuh terdorong oleh jamaah lain yang memang tenaga dan badannya lebih besar dibanding ukuran tubuh orang Indonesia. Untuk alasan itu pula, jamaah dari Asia yang bertubuh kecil dipisahkan dari rombongan jamaah negara lain seperti dari Arab dan Afrika agar saat memasuki Raudhah lebih aman.

Ibu Saya Tercinta Sedang Mengantri Menuju Raudhah Di Atas Kursi Rodanya Sambil Membaca Buku Doa

Setelah pada kesempatan tahun-tahun berikutnya ke Raudhah dan melihat ternyata jamaah berkursi roda punya jalur khusus, akhirnya pada musim haji tahun 2017 ini saya membawa ibu saya ke sana menggunakan kursi roda. Alhamdulillah, Allah sangat memuliakan ibu saya. Tanpa desak-desakan, tanpa takut terinjak, Ibu saya dan para ibu lainnya bisa shalat bahkan lebih lama dari jamaah umum yang menuju Raudhah. Tipsnya cuma harus sabar mengantri. Saat sedang mengantri, alhamdulillah waktunya bisa diisi sambil membaca Qur’an atau shalat sunat.

Antrian Jamaah Perempuan Yang Sedang Menunggu Giliran Menuju Raudhah. Antrian Duduk Di Sini Bisa Memakan Waktu Hingga 1 Jam Lebih.

Jamaah yang tidak berkursi roda mempunyai ruangan tersendiri untuk antri. Kami dipisah-pisahkan duduknya dan dikelompokkan dengan sesama bangsa Melayu. Saking lamanya antri, beberapa jamaah ada yang menunggu sambil mengaji bahkan ada yang tidur-tiduran. Saking banyaknya jamaah dan tempat di Raudhah yang terbatas, kami harus sabar dalam menunggu giliran.

Lihatlah Batas Raudhah Berkarpet Hijau Yang Berbeda Dengan Karpet Nabawi Umumnya Yaitu Merah

Walau cukup lama menunggu, pasti rasa kesal langsung hilang dan berubah menjadi rasa haru saat langkah demi langkah kita tiba pada perbatasan karpet berwarna merah dan hijau. Ya, karpet Masjidil Nabawi umumnya berwarna merah dan karpet khusus di bagian Raudhah berwarna hijau. Masya Allah, betapa bahagianya saat kaki kita sudah tiba di atas karpet yang hijau. Rasanya ingin segera bersujud di sana. Eits, jangan tiba-tiba langsung ingin sujud syukur atau shalat di saat awal karpet hijau ya. Nanti kita bisa menghalangi orang lain untuk masuk dan bisa terinjak-injak. Carilah tempat yang cukup aman agak ke dalam walau kondisinya tidak akan leluasa sebebas shalat di mesjid-mesjid yang ada di Indonesia. Asal cukup untuk bersujud, alhamdulillah.

 

Inilah Karpet Hijau Raudhah. Tidak Ada Tempat Tersisa Selain Untuk Shalat, Sekecil Apapun Area Itu.

Berbagai keutamaan shalat dan berdoa di Raudhah bisa kita baca dari berbagai sumber yang bisa dicari di Google. Yang pasti, hampir semua muslim yang tiba di Madinah ingin merasakan bersujud di Raudhah.

Mama Bersama Para Jamaah Lain Yang Bisa Tenang Shalat Dan Berdoa, Sementara Giliran Saya Di Sana Sudah Habis Dan Tinggal Menunggu

Oh ya, kembali ke kisah ibu saya di Raudhah, bagaimana keadaan tempat shalat bagi jamaah berkursi roda? Alhamdulillah, ibu-ibu berkursi roda ini begitu dihormati. Saat antrian memasuki Raudhah, para petugas perempuan mengambil alih kursi roda dan memarkirkan para ibu ini dengan rapi. Sekitar 15-20 ibu bergantian bisa shalat dan berdoa di atas kursi rodanya di atas karpet hijau. Para pengantar dipersilakan shalat di bagian belakang kursi roda ini. Luar biasanya, para ibu yang berada di atas kursi roda bisa shalat lebih lama dan tidak perlu berdesakan. Mereka sangat khusyuk shalat berdoa. Para pengantar sendiri harus cukup puas shalat hanya 2 rakaat dan langsung disuruh berdiri agar bisa bergantian dengan pengantar lainnya. Allah menjamu ibu saya sedemikian nikmatnya. Nikmat mana lagi yang hamda dustakan Ya Allah. Sebegitu besar pertolongan-Mu untuk membahagiakan orang tua hamba. Alhamdulillah… alhamdulillah…